CLOCK


Mutiara Harian

Friday, July 25, 2014

Perjalanan ke Kampung Halaman Butuh 23 Tips

Perjalanan ke Kampung Halaman Butuh 23 Tips
1. Sholat Istikharah Sebelum Mudik
Apabila ahlussunnah bertekad untuk melakukan safar (mudik), disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut, (artinya),
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi,
"Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.”
(Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Mudik
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan.
Allah azza wa jalla berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.”
(Ali ‘Imran: 159)
3. Menyiapkan Bekal Mudik
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
“Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.”
(Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Bawalah makanan, minuman, pakaian atau yang lain, karena yang demikian sudah dimaklumi bersama.
4. Tidak Sendirian Saat Mudik
Sangat ditekankan untuk melakukan safar berjamaah minimal 3 orang. Melakukan safar sendirian adalah hal yang dimakruhkan berdasarkan hadits Abdullah bin Umar, Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Seandainya manusia mengetahui jeleknya bersendirian seperti apa yang aku ketahui, niscaya dia tidak akan mengadakan perjalanan di malam hari sendirian.”
(HR.Al-Bukhari no. 2998)
Maka saat mudik, ajaklah keluarga, teman, atau yang lainnya. Usahakan tidak bersendirian.
Hanya saja jika dalam keadaan terpaksa atau memang tidak ada orang yang bisa menemaninya sementara dia harus safar segera, maka insya Allah ada uzur baginya.
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).”
(HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah)
6. Mudik di Hari Kamis
Disunnahkan untuk keluar pada hari kamis, dan lebih disunnahkan lagi pada malam kamis atau kamis pagi.
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar ke perang Tabuk pada hari kamis, dan jika beliau ingin safar, maka beliau memang senang perginya hari kamis.”
(HR. Al-Bukhari no. 2950 dan Muslim no. 2769)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Hendaknya kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena bumi digulung pada malam hari.”
(HR. Abu Daud no. 2571 dan hadits ini hasan lighairih)
7. Berpamitan dan Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar, dari Nabi , beliau bersabda,
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata, ‘Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah dengan membaca doa, (artinya),
“Aku titipkan kepada Allah agama, amanah dan penutup-penutup amalmu “.
[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (no. 2600), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (2/97/no. 2476), Ahmad dalam Al-Musnad (2/25/no. 4781) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (49/314-316)]
8. Dilarang Membawa Anjing dan Lonceng, Alat Musik Dalam Safar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.
(HR. Muslim)
9. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini, (artinya),
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.”
(HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar)
10. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir, dia berkata:
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.”
(HR. Al-Bukhari no. 2993)
11. Memperbanyak Doa Ketika Mudik
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas berkata: Rasulullah bersabda,
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.”
(HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan,
'Audzubikalimaatillahit tammah min syarrimaa kholaq'
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.”
(HR. Muslim no. 2708)
13. Ketika Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak Jangan Mengeluh
Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun, ucapkanlah basmalah (bacaan “ bismillah”).
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan,
“Celakalah syaithan”.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,
“Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.”
(HR. Abu Daud no. 4982 dan Ahmad 5/95. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
14. Apakah Boleh Shalat di Atas Mobil, Pesawat, dll?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya,
"Bagaimana seorang muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu ? Atau menunggu sampai tiba di airport, jika akan tiba pada akhir waktu shalat ?"
Jawaban:
Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannhya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisayaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."
[At-Taghabun : 16]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Imran bin Al-Hushain Radhiyallahu 'anhu di kala ia sedang sakit.
"Artinya : Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring."
[HR Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab Taqshirus Sahalah 1117]
Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dengan tambahan.
"Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang."
Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing, maka itupun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.
Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut.
Wallahu Waliyut Taufiq
[Fatawa MuhimahTata'allaqu Bish Shalah, hal 40-41, Syaikh Ibnu Baz]
Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhohulloh menambahkan,
"Kalau seorang yang berada dalam bus/mobil ia mau melaksanakan sholat lail di atas mobil, itu tidak mengapa."
15. Membaca Quran dan Dzikir di Atas Kendaraan
Orang yang safar di atas mobil banyak kebaikan yang ia bisa lakukan. Apabila seseorang ingin membaca al-Quran, maka itu baik. Kalau pada malam hari tidak ada lampu, ia bisa berdzikir kepada Alloh azza wa jalla.
16. Disunnahkan Untuk Tinggal Sementara dan Makan Secara Bersama di Satu Tempat
Allah subhanahu wa ta`ala menjadikan kekuatan, kemuliaan, kekokohan dan barakah didalam persatuan. Dan Allah ta`ala menjadikan di dalam perpecahan ketakutan, kelemahan, dikuasai oleh musuh dan tercabutnya barakah Allah. Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba dan bermalam.
Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah. Adapun berkumpul ditempat mereka singgah, hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata,
“Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan.'
Setelah itu apabila mereka turun dan singgah di suatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnya hingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua.”
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka.
Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah?”
Para sahabat menjawab, “Benar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambesabda, “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.”
17. Menundukkan Pandangan kepada Lawan Jenis
Kadang ketika seorang muslim berada dalam bus, mobil, pesawat, dll, ia akan ikhtilat bersama lawan jenisnya. Maka ia diperintah untuk menundukkan pandangan.
Alloh azza wa jalla berfirman,
"Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat', dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang orang yang beriman semoga kalian beruntung."
(An-Nuur 30-31)
18. Hati-Hati Tidur Saat Mudik
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggu dengan hewan-hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila kalian berjalan di siang hari menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-hewan berbisa”.
Maka carilah tempat tidur, atau posisi tidur yang aman. Tidurlah sesuai sunnah Rosululloh shollallohu alayhi wasallam.
19. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusan
Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah)
20. Mendatangi Keluarga pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas berkata,
“Rasulullah tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.”
(HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
21. Membaca Doa Ketika Melihat Kampung
Anas berkata,
“Kami datang bersama Nabi, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau mengucapkan (doa, artinya),
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
22. Melakukan Shalat 2 Rakaat di Masjid Terdekat Ketika Telah Tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik,
“Adalah Rasulullah n apabila kembali dari suatu safar, beliau memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
23. Dilarang Bagi Wanita Safar tanpa Ada Mahram
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)
Hukum asal bagi seorang wanita adalah tidak boleh bersafar atau tinggal di suatu tempat yang jaraknya jarak safar, kecuali harus bersama mahramnya. Dan mahram yang dimaksud di sini adalah lelaki dewasa yang tidak boleh dinikahi selama lamanya. Hanya saja, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, bahwa tidak ada satu hukum atau kaidahpun kecuali pasti ada pengecualian padanya. Dan masalah ini di antaranya.
Nah, kapan saja seorang wanita boleh melakukan safar tanpa mahram?
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata,
“Semua safar walaupun jaraknya dekat, maka seorang wanita wajib ditemani oleh mahramnya. Kecuali pada empat keadaan:
Pertama: Jika mahramnya meninggal di tengah perjalanan, sementara dia telah jauh meninggalkan tempat asalnya.
Kedua: Jika wanita itu wajib berhijrah.
Ketiga: Jika dia berzina sehingga dia dihukum dengan pengasingan (pengusiran), sementara dia tidak mempunyai mahram.
Keempat: Jika hakim mengharuskan untuk mendatangkan dia setelah tuduhan dijatuhkan kepadanya, sementara dia tidak berada di situ ketika itu.”
[Al-Muntaqa Min Fara`id Al- Fawa`id hal. 44-45]
Keadaan kedua dimana ketika dia wajib berhijrah adalah semisal ada wanita yang masuk Islam di negeri kafir, dan terpenuhi padanya kemampuan untuk berhijrah sehingga dia wajib berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Hanya saja ketika itu dia tidak mempunyai mahram. Maka dia tetap diwajibkan berhijrah walaupun tanpa disertai mahram.
Keadaan ketiga maksudnya jika wanita itu belum menikah. Karena jika dia telah menikah maka hukum had baginya adalah rajam dan bukan pengasingan.
Jika ada yang bertanya, "Bagaimana jika ditemani anak laki-lakinya yang belum balig atau wanita dewasa yang lainnya (semisal ibu atau saudarinya)?
Dijawab oleh Ust. Hammad,
"Tidak boleh, karena hikmah diharuskannya ada mahram dalam safar adalah agar mahramnya tersebut bisa menjaganya dari berbagai mudharat yang mungkin terjadi pada wanita tersebut. Adapun anak kecil maka jelas dia tidak bisa melakukan hal itu. Adapun sekelompok wanita maka keadaannya sama, karena memungkinkan ada sekelompok lelaki yang bisa memudharatkan mereka. Karenanya para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud mahram di sini adalah lelaki dewasa yang bisa menjaga dirinya dari fitnah.
Wallahu a’lam."
Rujukan:
*Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
*Al-Ustadz Abu Muawiyah Hammad
*Al-Ustadz Dzulqarnain
Semoga Alloh azza wa jalla memberi taufik kepada kita semua....[]
status sdr. Kusnandar Putra
--Bontote'ne, 24 Romadhon 1435 H

Semua Manusia Ingin di Hargai - Apa Yang Sebenarnya Dicari Orang Di Dunia Ini ?

Sumber : https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/semua-manusia-ingin-di-hargai-apa-yang-sebenarnya-dicari-orang-di-dunia-ini-/454557393777

Sebenarnya kebanyakan orang saat ini, lebih banyak melakukan kebaikan dan kejahatan karena didorong oleh keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Karena merasa takut dilecehkan dan takut tidak dihargai ditengah-tengah masyarakat, maka segala macam cara dilakukan agar ia memperoleh penghargaan di mata manusia baik melalui jalan yang kebaikan maupun kejahatan.

Koruptor misalnya, mereka berpikir bahwa dengan menyelewengkan dana negara ke saku pribadi, maka ia bisa menambah kekayaan diri dan keluarganya. Semakin banyak uang, semakin meningkat kesejahteraan hidup, maka semakin disegani dan dihargai pula oleh orang-orang disekitarnya. Sudah kaya, hidupnya mewah, tinggal di rumah elit lengkap dengan mobilnya, memiliki jabatan tinggi pula.

Lalu, apa sebenarnya yang orang cari di dunia ini ?
Kebahagiaan. Yah, semua manusia hidup didunia ini karena mencari kebahagiaan. Ada yang mencari sebatas kebahagiaan dunia, ada juga yang mencari sebatas kehidupan akhirat dan ada pula yang mencari kedua-duanya. Setiap orang memiliki makna kebahagiaan menurut persepsinya masing-masing. Ada yang merasa bahagia memiliki banyak harta, ada yang bahagia karena memeliki istri yang cantik nan sholehah, ada yang bahagia karena selalu dekat dengan TuhanNya, dan ada pula yang merasa bahagia jika ia mendapatkan sebuah penghargaan.

Caci maki dan hinaan sebenarnya bukan sumber lahirnya sakit hati. Lalu kenapa jika seseorang dihina ia sakit hati ? yah, karena ingin dihargai. Ia menganggap bahwa caci maki dan hinaan itu bisa menurunkan martabat dan harga dirinya. Karena itu ia merasa sakit dan tidak terima hal-hal seperti itu terjadi padanya. Jangan heran jika kemudian ada pembunuhan, kasus mutilasi ataupun kasus perkelahian gara-gara “dua kata…tiga kata” atau gara-gara cekcok mulut. Karena itu tadi, sekecil-kecil apapun bentuknya, jika hal itu bisa menurunkan harkat dan martabat seseorang, maka ia akan membela dirinya dengan setengah mati walau harus membuat orang lain menuju kematian.

Berbeda halnya dengan manusia yang mengenal dirinya, yang benar-benar memahami bahwa penghargaan yang paling mulia adalah penghargaan dari Allah. Yang ia cari semata-mata adalah keridhaanNya, memang susah. Memang berat mengamalkan prinsip "biar hina di dunia, namun muliah di akhirat", tapi hal ini tidak akan menjadi masalah bagi orang-orang yang beriman. Sedikitpun ia tak akan resah dan merasa pedih dengan penghinaan orang lain, malah hal itu akan membuatnya bersabar dan semakian giat membenahi diri. Tak tanggung-tanggung, untuk manusia seperti ini, Allah Subhanahuu Wata'ala akan memberinya balasan berupa Surga. Sebuah tempat dimana ia tidak akan dihina, dicaci maki dan dilecehkan oleh siapapun juga.
wallahu’alam….

Nasehat Imam Abu Hanifah #Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah

Sumber :https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/nasehat-imam-abu-hanifah-berikhtiarlah-sedapat-mungkin-dengan-pertolongan-allah/10150331475473778



 Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Orang itu mengeluh, "Aduhai, alngkah malangnya nasibku ini, tiada seorang pun lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak tadi pagi belum datang setetes air atau sesuap nasi ke perutku sehingga badanku menjadi lemah lunglai. Oh adakah orang yang mau memberi walaupun setetes air."
Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah merasa kasihan sehingga beliau melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada orang yang menangis itu. Abu Hanifah lalu meneruskan perjalanannya. Orang ini terkejut ketika mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui darimana datangnya, lantas segera dibukanya. Ternyata bungkusan itu berisi uang dan selembar kertas yang bertulis. "Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh dengan nasibmu seperti itu, kamu tidak perlu mengeluh dengan nasibmu. Ingatlah pada kemurahan Allah dan jangan berhenti memohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."





Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melewati lagi rumah itu dan suara keluhan itu terdengar lagi, "Ya Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika tidak diberi, akan lebih sengsaralah hidupku."
Mendengar keluhan itu lagi maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan selembar kertas dari luar jendela, lalu beliau meneruskan perjalanannya. Orang itu senang mendapat bungkusan lagi. Dengan cepat dibukanya. Seperti kemarin, dibacanya tulisan yang ada didalam kertas itu, "Hai kawan, bukan begitu cara berikhtiar. Perbuatan demikian 'malas' namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh Allah tidak senang melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan.......jangan berbuat demikian. Hendaklah engkau senang bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari dan diusahakan. Orang hidup tidak bisa duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah kamu akan mendapat rezeki, selama kamu tidak berputus asa. Nah...carilah segera pekerjaan, saya berdoa semoga engkau sukses."

Setelah selesai membaca surat itu, dia termenung, insaf dan sadar akan kemalasannya. Selama ini dia tidak mau berusaha. Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari rezeki. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti peraturan-peraturan hidup dan tidak lagi melupakan nasihat dari Abu Hanifah itu

Menukar Haram Dengan Halal

Sumber : https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/menukar-haram-dengan-halal/404134253777

Qatadah mengatakan, "seorang yang mampu melakukan yang haram kemudian meninggalkannya, tiada lain karena takut Allah. Maka Allah akan mengganti apa yang ia tinggalkan dengan segera didunia ini sebelum membalasnya kelak di akherat."

Selain itu, pahala yang dihadiahkan kepada pelaku amal shalih sesuai dengan beratnya godaan dan kesulitan pada tiap amal. Oleh karenanya, balasan bagi orang yang merendahkan gengsi dan memaafkan adalah kemuliaan dan dihormati orang lain. Orang yang meninggalkan RIBA, dimudahkan rejekinya dan hartanya menjadi berkah. Menjaga mata dari objek yang tidak boleh dilihat dapat menajamkan firosah dan membuat mata bersinar. Orang yang meninggalkan lingkungan yang buruk akan dimudahkan dalam berteman dengan orang shalih. Dan, yang paling tinggi adalah balasan jannah di akherat kelak. Malik bin dinar mengatakan, " Ada Jannah yang bernama An-Naim. Letaknya terletak antara Jannah Firdaus dan Jannah Adn. Penghuninya adalah orang yang memiliki hasrat bermaksiat, tapi ketika mengingat Allah mereka menyadari bahwa Allah mengawasinya. Mereka merasa takut."
Namun, menanamkan keyakinan ini di hati tidaklah mudah, butuh kesungguhan usaha dan mujahadah. kita berharap semoga dimudahkan memperoleh mau'nah-Nya. Aamiin

Bismillah ir-Rahman ir-Rahim

Sumber : https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/bismillah-ir-rahman-ir-rahim/387462648777

Duhai Dzat yang membolak-balikan hati manusia,

Engkaulah yang Maha mengetahui setiap hati hamba-Mu..

Berikanlah kepadaku manisnya memperoleh keberkahan keimanan dari-Mu.

ya Rabb, ingatkanlah kepada hamba tujuan hidup ini hanyalah untuk-Mu.

berikanlah hamba tempat untuk menuntut ilmu atas ridha-Mu.

setiap ujian setiap saat yang kau berikan adalah atas kuasa-Mu,

maka luruskan lagi niat hamba untuk selalu beriman kepada-Mu.

ya Rabb, tunjukkan kepada hamba apa saja yang menjadi kekurangan hamba,

agar hamba dapat menebus dosa hamba didunia..

jauhkanlah hamba mengingat-ingat kebaikan sekecil apapun yang telah hamba lakukan.

Karena Kebaikan dan kebenaran itu sungguh datangnya dari Engkau ya Allah.aamiin

Sumber : https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/semua-perasaan-kesedihan-ini/95937863777


Sayangnya, ketahuilah duhai penduduk bumi,

kesedihan tidak mengenal derajat kehidupan yang diciptakan manusia.

kesedihan hanya mengenal derajat kehidupan yang Engkau tentukan.

kesedihan tidak pernah berkolerasi dengan standar kehidupan manusia yang amat keterlaluan cinta dunianya.

kesedihan hanya mengenal ukuran yang Engkau sampaikan lewat ayat-ayatMu.

kesedihan seseorang sungguh seharusnya boleh jadi kegembiraan baginya.

kegembiraan seseorang sungguh boleh jadi hakikatnya kesedihan terbesar baginya.

TAPI HAKIKAT ITU, HANYA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERFIKIR ..

Cinta dan Benci Karena Allah

Sumber :https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/cinta-dan-benci-karena-allah/10150590799563778


1. Memberitahu orang yang engkau cintai bahwa engkau mencintainya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya."[1]

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa pemberitahuan tersebut akan membuat kasih sayang semakin langgeng dan membuat cinta semakin kuat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya karena Allah hendaklah ia memberitahu kepadanya, karena hal itu dapat melanggengkan kasih sayang dan memperkuat rasa cinta."[2]

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (XIII/67): "Makna pemberitahuan ini ialah anjuran untuk saling berkasih sayang dan mencintai. Karena apabila ia memberi tahu kepadanya maka ia akan memikat hatinya dan mendatangkan kecintaannya."

:D:D

2. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa ucapan salam akan menghilangkan rasa asing dan gejolak hati sehingga hati dapat bertemu karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan, kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian."[3]


3. Hadiah

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi."[4]

4. Membatasi frekuensi kunjungan

Ketahuilah wahai saudaraku yang ku cintai, terlalu sering berkunjung bisa membuat bosan. Kunjungan yang terlalu sering dapat menumbuhkan futur (jemu atau muak). Mengatur kadar kedekatan dapat membuatnya lapang. Demikian pula sebaliknya, terlalu jarang mengunjungi juga akan membuat renggang dan dapat mengeraskan hati. Oleh karna itu, kunjungilah saudaramu sesekali waktu.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kunjungilah (saudaramu) secara jarang-jarang niscaya rasa kasih sayang akan bertambah."[5]


Sungguh indah perkataan seorang penya'ir berikut ini:

hindari olehmu sering melakukan kunjungan

karena sungguh jika terlalu banyak, akan menimbulkan kebencian

sungguh aku lihat hujan bila turun tiap hari akan membuat bosan

dan apabila tertahan justru tangan-tangan akan menengadah memohon kedatangannya


Seorang penya'ir lain mengatakan:

batasilah kunjungan kepada sahabatmu

maka engkau seperti pakaian yang senantiasa baru

sungguh sesuatu yang paling membosankan bagi seseorang

bila ia selalu melihatmu di sisinya

5. Bersikap wajar dalam cinta dan benci.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam

"Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai."[6]

Demikianlah sikap yang pertengahan ini bertambah nyata, meliputi seluruh tampilan Islam hingga dalam hal perasaan, simpati dan kasih sayang.

Oleh karena itu Umar bin al-Khaththab radialllahu 'anhu berkata: "Hai Aslam, jangan jadikan cintamu sebagai beban dan jangan sampai bencimu membuat binasa."

Aku bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Beliau mengatakan: "Jika engkau mencintai, janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya."[7]

Hadbah bin Kasyram berkata:

jika engkau membenci, bencilah dengan kebencian sewajarnya

karena sesungguhnya engkau tidak tahu,suatu ketika engkau akan kembali

jadilah engkau barang tambang bagi kebaikan dan berilah maaf atas kesalahan

karena sesungguhnya engkau melihat dan mendengar apa yang engkau lakukan

jika engkau mencintai, cintailah dengan cinta sewajarnya

sebab engkau tidak tahu, suatu ketika engkau memutus cinta itu


An-Namar bin Taulab berkata:

cintailah kekasihmu dengan cinta sewajarnya

niscaya tidak akan membebanimu bila kamu memutus cinta itu

dan bencilah musuhmu dengan benci sewajarnya

karena bila engkau berusaha untuk mencintainya maka engkau akan bersikap bijak padanya


6. Istiqomah di atas ketaatan dan meninggalkan maksiat.

Ketahuilah saudaraku seiman, bahwa iman dan amal shalih merupakan penyebab Allah mencintai hamba-Nya. Jika Allah telah mencintainya, niscaya ditulis baginya penerimaan yang baik di tengah hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang." (QS. Maryam: 96)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai fulan, maka cintailah dia.' Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mencinta fulan, maka cintailah dia,' Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi."[8]


Foot note:[1] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad (542), Abu Dawud (5214), at-Tirmidzi (2502-Tuhfah), dan selain mereka dari jalur Yahya bin Sa'id ia berkata: "Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Habib bib 'Ubaid telah menceritakan kepada kami dari al-Miqdam bin Ma'di di Karib secara marfu'." Aku katakan: "Hadits ini telah dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan benar katanya." 

[2] Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Waki' dalam kitab az-Zuhd (337) dengan sanad yang shahih dari 'Ali bin Al-Husain secara marfu'.Aku katakan: "Riwayat tersebut mursal shahih sanadnya." Ada syahid (hadits penguat) lain yang juga mursal diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (191). Dan, ada juga syahid lainnya dari Yazid bin Nu'amah adh-Dhabbi.Hadits ini telah dihasankan oleh guru kami Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1199) dengan keseluruhan jalur-jalurnya.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim (II/35, an-Nawawi) dan selainnya dari hadits Abu Hurairah radiallahu 'anhu.

[4] Hasan, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (594), ad-Dulabi dalam al-Kuna (I/150 dan II/7) dan al-Baihaqi (VI/169), serta selain mereka dari jalur Dhamam bin Isma'il ia berkata: 'Aku mendengar Musa bin Wardan meriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu 'andu secara marfu'."Aku katakan: "Sanad ini hasan."

[5] Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (3562).

[6] Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (176).Guru kami, Syaikh al-Albani telah menjelaskan panjang lebar tentang keshahihannya dalam Ghaayatul Maraam (472), silahkan merujuk ke sana karena sangat bermanfaat.

[7] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (1322), Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (20269), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah(XIII/65), dari jalur Ma'mar bin Zaid bin Aslam dari ayahnya.Aku katakan: "Sanadnya shahih."

[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VI/303, X/461, al-Fath), Muslim (XVI/183-184 an-Nawawi), dari hadits Abu Hurairah radiallahu 'anhu.

Larangan Untuk Muslim Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

Sumber : https://www.facebook.com/notes/tisa-khairunnisa/larangan-untuk-muslim-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya/10151714175013778

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya. 

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305). 

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin 

[Ayat ke-1] 

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ 

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28) 

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825). 

[Ayat ke-2] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51) 

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132). 

Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132). 

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin. 

[Ayat ke-3] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57) 

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236) 

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara 

[Ayat ke-4] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23) 

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121). 

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir 

[Ayat ke-5] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1). 

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854) 
Berikut ini isi surat Hathib: 

أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ 

“Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520). 

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854). 

[Ayat ke-6] 

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا 

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89) 

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191). 

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah: 

Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi 
Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin. 
Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191). 
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik 

[Ayat ke-7] 

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا 

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah“ (QS. An Nisa: 139) 

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/435) 

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya 

[Ayat ke-8] 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144) 

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441). 

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya 

[Ayat ke-9] 

وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ 

“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Maidah: 81) 

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498). 

Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498). 

Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq. 
Penulis: Yulian Purnama

Karakter Seorang Mujahid

Sumber : https://www.facebook.com/ticatisa/posts/10201072276742179

Bismillah, hati2 yaa yg lg demo bisa2 mati lho(bercanda untung ini bukan lagi dimesir  ), inget fatwa ulama arab blg demo hanya berujung yang tidak baik, adanya malah pertengkaran dan permusuhan. Menyebabkan kematian yg tak terhingga(meskipun kematian sudah menjadi takdir bagi setiap manusia &Allah swt sudah menentukan kapan dan bagaimana cara kamu mati). Sebaiknya juga kita sbg umat muslim menegurnya dengan cara yg baik yg mengandung hikmah dan bermanfaat)
Kl zaman rasulullah saw menghadapi orang kafir yg ingkar.. Mereka hanya senang berbuat kerusakan, mereka tidak akan pernah senang kepada org muslim.. وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. QS. al-Baqarah (2) : 120
Maka dari itu satu2nya jalan untuk menolong orang muslim yaitu doa, jihad harta dan raga.. Strategi Nabi Muhammad saw agar islam terus berkembang yaitu: 1/2 orang muslim utk jihad, dan 1/2nya lagi menuntut ilmu utk meneruskan dakwahnya. Kl memang benar mau ngikutin kt Rasulullah saw, itu jg atas perintah Allah. Karena apa? Orang yg ingkar terhadap Allah sudah pasti ingkar juga kepada manusia.. Mau diadakan musyawarah dan perjanjian pun juga tetep aja berkhianat.. Mau diadakan pemilihan yg demokratis pun tetep aja berkhianat. Kecuali kl mereka memang benar2 patuh. Krn islam menjamin keselamatan bagi seluruh umat muslim maupun non-muslim.
“Wahai oramg-orang yang beriman! Mengapa kalian jika disuruh untuk berangkat perang dijalan Allah kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu, apakah kalian lebih senang dengan kehidupan dunia dari pada akhirat? Ketahuilah, sesungguhnya perhiasan dunia jika dibandingkan akhirat sangat kecil sekali” (At Taubah 38).
Sangat berbeda dengan orang-orang munafik. Diantara sifat orang munafik adalah tidak mau berjihad dan mencari berbagai macam alasan untuk tidak berjihad. Karena memang orang munafiq lebih mencintai kehidupan dunianya daripada kehidupan di akhirat.
Ketika perang tabuk Rasulullah berkata kepada seorang munafiq: “Apakah kalian hendak ikut berperang?”. Orang munafiq itu berkata:”Ya Muhammad, jangan engkau fitnah kami, karena di Romawi banyak wanita-wanita cantik”
Sebagian diantara mereka menggembosi semangat kaum muslimin, menghasut untuk tidak berangkat jihad. Mereka berkata : “Janganlah kalian keluar (berjihad) di waktu panas”
Sebagian beralasan: “Sesungguhnya rumah-rumah kami adalah aurat” . Dan berbagai macam cara mereka untuk tidak berang jhad bersama Rasululah. Bahkan ketika ada shahabat yang shahid mereka mencibir dengan mengatakan: “Kalau seandainya mereka bersama kami niscaya dia tdak akan mati”. Itulah diantara sifat kaum munafiqin yang anti terhadap jihad karena cinta dunia dan takut mati.
Sedangkan makna “walaa yakhoofuuna laumata laaim” yaitu tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela. Maksudnya, mereka lebih mengedepankan ridha Rob mereka dan takut celaan dari-Nya dibandingkan celaan dari makhluq. Ini menunjukkan kekuatan pendirian dan cita-cita mereka. Karena hati yang lemah akan melahirkan cita-cita yang lemah. Dan cita-cita itu akan sirna saat celaan datang dari para pencela. Dan akan menghancurkan mereka saat hujatan datang mendera. Dalam hati mereka ada yang diibadahi selain Allah. Peribadahan itu sebanding atas takutnya celaan dari manusia dibanding celaan dari Allah. Dan hati seseorang tidak akan selamat peribadahan pada selain Allah sampai tidak ada yang ditakuti kecuali celaan Allah. [ Tafsir as Sa’di }
Dalam hal ini Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadistnya ;
لَا يَحْقِرَنَّ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ أَنْ يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ عَلَيْهِ فِيهِ مَقَالًا ثُمَّ لَا يَقُولُهُ فَيَقُولُ اللَّهُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُولَ فِيهِ فَيَقُولُ رَبِّ خَشِيتُ النَّاسَ فَيَقُولُ وَأَنَا أَحَقُّ أَنْ يُخْشَى
“Janganlah salah seorang di antara kalian menghinakan dirinya, yaitu jika ia melihat satu perkara yang menjadi hak Allah dan menjadi kewajibannya untuk dibicarakan, kemudian dia tidak membicarakannya. Maka Allah akan bertanya (padanya di hari Kiamat) ‘Apa yang menghalangimu untuk mengatakannya’ Kemudian dia akan menjawab, ‘Rabbku, aku takut kepada manusia’. Maka Allah berkata, ‘Hanya Akulah yang paling berhak engkau takuti’.” [ HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Al-Albani di dalam shahihul jami’ halaman 1814 ].
Dan ketika Allah Ta’ala memuji para hambanya dengan sifat-sifat yang terpuji tersebut, kemudian Ia menutup dengan firman-Nya “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa semua ini adalh karunia dari Allah agar kita sebagai hambanya tidak ujub dan sombong. Dan agar kita senantiasa bersyukur dan senantiasa menambah karunia tersebut dengan berbagai ketaatan.

karakter seorang mujahid

16 Agustus 2013 pukul 14:44
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (Q.S. Al Maidah :54).

Allah Ta’ala telah mengabarkan pada kita semua bahwa barang siapa yang memalingkan diri dan tidak mau memperjuangkan dan menolong din Allah Ta’ala dan syariatnya, sungguh akan digantikan dengan satu kaum yang lebih bik dari mereka. Mereka yang lebih komitment dengan diennya, lebih lurus jalannya, dan lebih serius dalam menegakkan din ini. Hal ini sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanya ;

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Dan jika kalian berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian (ini). [ QS. Muhammad : 38 ].

Imam At Tabari berkata bahwa ancaman dari Allah ini ditujukan kepada orang-orang yang akan murtad dengan pengetahuan Allah setelah wafatnya nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Demikian pula janji-Nya kepada orang-orang yang beriman dengan ilmu Allah pula bahwasanya ada diantara mereka yang tidak berubah dan tidak berganti diennya. Dan ketika wafatnya nabi sallallahu alaihi wasallam, maka murtadlah beberapa kaum dari penduduk al wabar dan sebagian penduduk al midar. Maka Allah menggantikan orang-orang yang lebih baik dari mereka.

Walau para ulama’ ahli tafsir menjelaskan sebab turunnya ayat ini dengan sebuah peristiwa pada zaman sahabat radyiallahu ‘anhum, akan tetapi ayat inipun juga tetap berlaku pada generasi berikutnya. Karena memang ayat al qur’an ini diturunkan kepada seluruh ummat nabi sallallahu alaihi wasallam. Dan tidak hanya kepada para sahabat saja.

Karakter penegak syari’at
Dari surat almaidah ayat 54 di atas dapat kita ambil pelajaran yang sangat berharga. Yaitu sebuah karakter yang harus dimiliki oleh para penegak syari’at. Atau mereka yang ingin menjadi para pejuang-pejuang islam penegak syari’at. Diantara karakter tersebut adalah ;

Pertama : Memiliki kecintaan yang mendalam kepada Allah Ta’ala. Mereka inilah Abu Bakar dan para sahabatnya. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa mereka adalah kaum saba’ atau juga yamamah dan juga ada yang menyebutkan mereka itu dari Yaman. Begitulah Ibnu katsir menyebutkan dalam tafsirnya.
Sedangkan Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitab beliau al ubudiyah ketika menjelaskan tentang kecintaan pada Allah Ta’ala dengan mengatakan :

قَدْ جَعَلَ الله لِأَهْلِ مَحَبَّتِهِ عَلَامَتَيْنِ: ِاتْبَاعُ الرَّسُوْلِ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْجِهَادَ حَقِيْقَتُهُ اَلْاِجْتِهَادُ فِي حُصُوْلِ مَا يُحِبُّهُ اللهُ مِنَ الْإِيْمَانِ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ، وَفِي دَفْعِ مَا يُبْغِضُهُ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفُسُوْقِ وَالْعِصْيَانِ ا- هـ.
Allah telah menjadikan tanda-tanda orang yang mencintai-Nya pada dua hal : Mengikuti Rasulullah dan jihad fi sabilillah. Yang demikian itu karena jihad pada hakekatnya adalah buah dari puncaknya iman dan amal shalih serta apa yang dibencinya dari kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. [ Al ‘Ubudiyah : 91 ].
Begitu indahnya ketika Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa tanda-tanda orang yang mencintai Allah Ta’ala adalah dengan mengikuti Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan jihad fisabilillah. Mengikuti Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah syarat sebuah kecintaan. Sedangkan aljihad adalah diantara bukti kecintaan seseorang yang tinggi kepada Robbnya.” Karena ia mengorbankan harta dan bahkan nyawanya untuk Allah Ta’ala padahal keduanya adalah sesuatu yang sangat berharga baginya, jika tidak memiliki sifat ini sangat mungkin seseorang meninggalkan perjuangannya karena secuil kesenangan dunia dan pasti bakhil untuk berkorban di jalan Allah Ta’ala.

Kedua : lemah lembut terhadap orang-orang beriman dan tegas terhadap orang-orang kafir. Tentang karakter ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Inilah sifat orang mukmin yang sempurna yaitu tawadhu’ dan rendah hati kepada saudara dan para walinya, kemudian keras kepada musuh-musuhnya(orang kafir). Hal ini sebagaimana juga disebutkan dalam surat Al Fath: 29

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.

Begitulah Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam memiliki sifat Dokhuk dan qittal yaitu ramah, santun dan tawadhu’ kepada para kekasihnya dan keras kepada musuhnya. Seseorang yang memiliki sifat ini tidak akan pernah merubah penilaian kepada musuh-musuhnya, sekali musuh tetap musuh tidak berubah menjadi kawan yang baik dan ramah. Ia pasti terus istiqomah dan tidak akan tertipu dengan makar musuh-musuhnya.
Sedangkan Imam As Sa’di berkata : Keras dan tegas kepada musuh Allah adalah suatu bentuk taqarrub pada Allah Ta’ala, karena seorang hamba membenci apa yang dibenci Allah. Dan ini tidaklah mengurangi makna dari usaha untuk mendakwahi mereka dengan cara yang paling baik. Maka terkumpullah ketegasan dan kelemah lembutan dalam berdakwah pada mereka. Dan semua ini demi sebuah kemanfaatan yang akhirnya juga akan kembali pada mereka.

Ketiga : Senantiasa berjihad di jalan Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela. Abu Basyir berkata tentang ciri thoifah al mansuroh dalam bab jihad, “Engkau lihat dalam jihad, mereka selalu berada di garis terdepan pertahanan kaum muslimin, jika terhenti maka segera mencari barisan yang lain untuk kembali menghidupkan syariat jihad.” Ujian dan fitnah tidak bisa menghentikan mereka, makar dan kekuatan musuh tidak mereka takutkan baik pengusiran, penyiksaan, penjara atau kematian. Mereka terus berjuang setiap berhasil menaklukan satu wilayah segera membuka medan jihad yang lain untuk terus menghidupkan kewajiban jihad di jalan Allah. Selesai.

Hal ini merupakan hasil dari sangat cintanya seseorang kepada dunia, sebagaimana Allah berfirman:
“Wahai oramg-orang yang beriman! Mengapa kalian jika disuruh untuk berangkat perang dijalan Allah kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu, apakah kalian lebih senang dengan kehidupan dunia dari pada akhirat? Ketahuilah, sesungguhnya perhiasan dunia jika dibandingkan akhirat sangat kecil sekali” (At Taubah 38).

Sangat berbeda dengan orang-orang munafik. Diantara sifat orang munafik adalah tidak mau berjihad dan mencari berbagai macam alasan untuk tidak berjihad. Karena memang orang munafiq lebih mencintai kehidupan dunianya daripada kehidupan di akhirat.

Ketika perang tabuk Rasulullah berkata kepada seorang munafiq: “Apakah kalian hendak ikut berperang?”. Orang munafiq itu berkata:”Ya Muhammad, jangan engkau fitnah kami, karena di Romawi banyak wanita-wanita cantik”

Sebagian diantara mereka menggembosi semangat kaum muslimin, menghasut untuk tidak berangkat jihad. Mereka berkata : “Janganlah kalian keluar (berjihad) di waktu panas”

Sebagian beralasan: “Sesungguhnya rumah-rumah kami adalah aurat” . Dan berbagai macam cara mereka untuk tidak berang jhad bersama Rasululah. Bahkan ketika ada shahabat yang shahid mereka mencibir dengan mengatakan: “Kalau seandainya mereka bersama kami niscaya dia tdak akan mati”. Itulah diantara sifat kaum munafiqin yang anti terhadap jihad karena cinta dunia dan takut mati.

Sedangkan makna “walaa yakhoofuuna laumata laaim” yaitu tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela. Maksudnya, mereka lebih mengedepankan ridha Rob mereka dan takut celaan dari-Nya dibandingkan celaan dari makhluq. Ini menunjukkan kekuatan pendirian dan cita-cita mereka. Karena hati yang lemah akan melahirkan cita-cita yang lemah. Dan cita-cita itu akan sirna saat celaan datang dari para pencela. Dan akan menghancurkan mereka saat hujatan datang mendera. Dalam hati mereka ada yang diibadahi selain Allah. Peribadahan itu sebanding atas takutnya celaan dari manusia dibanding celaan dari Allah. Dan hati seseorang tidak akan selamat peribadahan pada selain Allah sampai tidak ada yang ditakuti kecuali celaan Allah. [ Tafsir as Sa’di }

Dalam hal ini Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadistnya ;

لَا يَحْقِرَنَّ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ أَنْ يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ عَلَيْهِ فِيهِ مَقَالًا ثُمَّ لَا يَقُولُهُ فَيَقُولُ اللَّهُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُولَ فِيهِ فَيَقُولُ رَبِّ خَشِيتُ النَّاسَ فَيَقُولُ وَأَنَا أَحَقُّ أَنْ يُخْشَى
“Janganlah salah seorang di antara kalian menghinakan dirinya, yaitu jika ia melihat satu perkara yang menjadi hak Allah dan menjadi kewajibannya untuk dibicarakan, kemudian dia tidak membicarakannya. Maka Allah akan bertanya (padanya di hari Kiamat) ‘Apa yang menghalangimu untuk mengatakannya’ Kemudian dia akan menjawab, ‘Rabbku, aku takut kepada manusia’. Maka Allah berkata, ‘Hanya Akulah yang paling berhak engkau takuti’.” [ HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Al-Albani di dalam shahihul jami’ halaman 1814 ].

Dan ketika Allah Ta’ala memuji para hambanya dengan sifat-sifat yang terpuji tersebut, kemudian Ia menutup dengan firman-Nya “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa semua ini adalh karunia dari Allah agar kita sebagai hambanya tidak ujub dan sombong. Dan agar kita senantiasa bersyukur dan senantiasa menambah karunia tersebut dengan berbagai ketaatan.

Demikianlah beberapa karakter generasi yang akan Allah menangkan dan kuatkan untuk menguasai bumi. Dan kita jika benar-benar menginkan menjadi generasi tersebut, maka harus berusaha untuk memiliki karakter-karakter di atas. Ingatlah bahwa tinggi dan kuatnya cita-cita sebanding lurus dengan usaha untuk merealisasikannya. Jika cita-cita tinggi, ia akan berussaha memiliki kriteria tersebut. Sebaliknya, jika cita-cita rendah, jauhlah ia dari kriteria tersebut. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah Ta’ala. [ Amru ].