CLOCK


Mutiara Harian

Thursday, June 30, 2016

ULAMA-UMARA-PENGUASA-POLITIK

ULAMA DAN UMARA’ (Pilihlah Umara' yang berjiwa ulama, jangan memilih umara' yang menabur harta demi memikat hati rakyat )

28 Maret 2014 pukul 10:45https://www.facebook.com/notes/hena-alfath/ulama-dan-umara-pilihlah-umara-yang-berjiwa-ulama-jangan-memilih-umara-yang-mena/675134375868063/
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan “Ada dua golongan di antara umat manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah seluruh manusia, dan apabila kedua golongan itu rusak maka rusaklah seluruh manusia, yaitu ulama dan umara” (HR. Abu Nu’aim ).

Ulama menurut bahasa adalah kata sifat yang berasal dari kata alim, artinya orang yang mengetahui atau ahli dalam bidang ilmu. Kemudian dari kata sifat dipakai menjadi istilah dan kata nama golongan umat yang mengetahui ilmu-ilmu agama islam, yang dinamakan ulama. Pemakaian istilah itu dipertegas oleh sebuah hadits, “Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para Nabi “ (HR. Abu Daud dan Turmudzi).

Ulama termasuk katagori pemimpin yang di golongkan sebagai pemimpin nonformal. Ulama mengakar di masyarakat dan menjadi panutan karena keluasan ilmu, kepribadian serta keikhlasannya. Sebaliknya pemimpin formal adalah para pejabat dan penguasa yang memiliki legalitas kekuasaan dan diberi amanah untuk mengatur dan memimpin masyarakat yang dalam istilah agama disebut umara.

Ulama dan umara mempunyai tugas dan tanggung jawab di hadapan Allah SWT, karena ilmu dan kekuasaan merupakan amanah Allah. Ilmu harus di gunakan dengan ikhlas dan jujur, kekuasaan harus dijalankan dengan benar dan adil.

Islam dapat tegak dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan negara bila antara ulama dan umara (penguasa) saling menghormati dan menghargai serta bekerja sama dengan niat ikhlas untuk kebaikan umat seluruhnya. Para ulama harus di tempatkan pada posisi dan kedudukannya sebagai pembina umat.   Ulama mempunyai tugas utama melakukanTafaqquh fid diin (memberikan pemahaman tentang agama) dan memberikan peringatan kepada masyarakat serta membimbing umat dengan petunjuk-petunjuk ilahiyah (ketuhanan).

Imam Ghozali menerangkan bahwa ada tiga macam tipe ulama. Pertama, mereka yang memcelakakan dirinya dan mencelakakan orang lain, yaitu ulama yang secara terang-terangan mengejar duniawi dan menghadapkan diri kepadanya. Kedua, mereka yang membahagiakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu ulama yang melakukan dakwah ilahiyah dengan penuh keikhlasan dan mensucikan-Nya lahir dan batin. Ketiga, mereka yang mencelakakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu ulama yang pada lahiriyahnya menyeru orang lain kepada akhirat dan mengingatkan supaya tidak diperdaya oleh dunia, sementara batinnya bertujuan mencari pengaruh.

Renungi dan amatilah petikan dari pada kata-kata hujjatul Islam, Imam al-Ghazali: ''Sesungguhnya rakyat rusak kerana pemerintah, dan pemerintah rusak kerana Ulama. Sementara Ulama pula rusak kerana tamak akan harta dan pangkat. Maka siapa yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia, dia tidak akan mampu memberi nasihat walaupun kepada orang bawahan, apa lagi kepada pemerintah dan pembesar''.

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa umat atau masyarakat Insya Allah akan aman, beriman dan sejahtera, apabila mempunyai pemimpin yang berjiwa ulama, atau ulama yang menjadi pemimpim. Karena ulama adalah pemimpim yang harus memiliki jiwa yang amanah, adil, jujur, profesional serta pengabdian untuk umat. Juga seorang pemimpin haruslah terbuka, karenanya akan memberikan andil yang positif guna mendewasakan masyarakatnya. Berprilaku seperti ini menunjukkan bahwa menjadi pemimpin yang siap dikoreksi, dikritik, dan dikasih masukan guna kemajuan bersama. Jika hal ini dilakukan, maka akan terbentuklah suatu komunitas yang harmonis, sehingga menjadi masyarakat yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, untuk menuju masyarakat yang maju. Dan kita berharap semoga melalui pemilihan saat ini mampu melahirkan pemimpin yang terbuka dan merakyat. Wallahu A’lam.



Mudah-mudahan bermanfaat......


Selasa, 12 April 2011 http://mjinan-ums.blogspot.co.id/2011/04/ulama-dan-umara.html

Ulama dan Umara

Ulama dan Umara dalam Sejarah Islam
Perspektif normatif tentang (hubungan) ulama dan umara dalam Islam nyaris tanpa persoalan. Disepakati bahwa kedua pemilik otoritas tersebut merupakan paduan yang utuh, tidak terpisah, dan mustahil dipertentangkan. Rujukan normatif tekstualnya adalah keharusan umat mentaati pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa’/4: 59) dan pribadi Nabi sendiri sebagai seorang Rasul juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Dengan kalimat lain, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara.

Lain halnya bila dengan cermat mengulas kembali manifestasi Islam dalam pemerintahan yang menyejarah pascakenabian yang membentang hingga masyarakat muslim kontemporer. Dalam bentangan sejarah kaum muslim yang panjang dan luas, ulama dan umara tidak hanya dapat dibedakan, lebih dari itu keduanya tidak jarang saling silang sebagai pemilik otoritas kepemimpinan dalam masyarakat muslim. Oleh karena itu, persoalan posisi dan peran ulama dan umara dalam masyarakat muslim sebenarnya merupakan  gejala belakangan, dengan segala pengaruh dinamika global dan lokal.
Mengikuti formulasi Obert Voll (1997) tentang kontinuitas dan perubahan pemerintahan Islam telah terjadi empat periode pemerintahan, yaitu periode komunitas ummat (masa Nabi dan sahabat), periode kekhalifahan, periode kesultanan dan kerajaan, dan periode negara-bangsa. Pada keempat periode tersebut dapat dilihat hubungan ulama dan umara terjalin secara dinamis.
Dalam sejarah, sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun kepemimpinan kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya semasa para Khalifah mengganti Nabi. Komunitas muslim yang masih terbatas lazim dengan sebutan sebagai ummah. Mungkin sekali hal itu terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam arti belum banyak lembaga dan  pranata yang majemuk sebagaimana dalam masyarakat mutakhir. Bahkan pengertian tentang  Negara saja tumbuh secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat laun menjelma menjadi negara.
Selanjutnya setelah Nabi meninggal muncul persoalan tentang sifat dasar kepemimpinan umat. Tampaknya Nabi sendiri tidak secara tegas menetapkan siapa penggantinya. Sesudah  Nabi,  istilah  yang  banyak dipakai  untuk menyebut pimpinan  negara  adalah  khalifah. Namun persoalan kepemimpiinan segera tertasi setelah Abu Bakar Ash-Shidiq terpilih sebagai pemimpin kaum muslim dan masyarakat Makah-Medinah. Secara umum tidak terjadi polaritas ulama-umara sampai setidaknya pada kekhalifahan (khulafaurrasyidin), meski kadang karena tuntutan perluasan pemerintahan Islam daerah perluasan ditentukan secara pragmatik dengan catatan pengakuan atas khalifah sebagai pemimpin umat dibawah naungan Al-Quran dan sunnah Nabi.
Persoalan peran dan posisi ulama dan umara mulai terlihat nampak jelas pada masa pemerintahan pasca-khalifah yang empat (khulafaurrasyidin). Dalam rentetan sejarah Islam, sikap penguasa—kecuali empat khalifah pertama dan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umawiyah—dinilai membias dari nilai-nilai Islam. Karena itu, banyak ulama yang menjauhi penguasa, bahkan melakukan penentangan terbuka seperti yang dilakukan Imam Ahmad Bin Hanbal terhadap Khalifah pada zamannya.
Realitas kekhalifahan yang tidak selalu terbimbing dibawah wahyu bahkan memengaruhi pemikiran Al-Ghazali sehingga pesimis terhadap kesatuan ulama dan umara. Imam al-Ghazali menyatakan tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam sebagai ulama syu’ (buruk). Al-Ghazali hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah, di mana tidak sedikit penguasa berusaha mengkoptasi ulama untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung kebijakan penguasa.
            Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam, istilah sultan digunakan untuk menyebut pemimpin pertama kalinya diberikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid kepada para menterinya. Sultan diperuntukkan bagi penguasa-penguasa daerah yang merdeka atau takluk di bawah kekuasaan Islam. Pada masa kesultanan Seljuk, istilah sultan lantas dipakai sebagai gelar untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara istilah Khalifah lebih  terbatas  kepada  pimpinan  keagamaan saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah  Abbasiah di Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan tanpa wewenang politik.
Berikutnya, perluasan masyarakat muslim ke berbagai penjuru dunia pemerintahannya mengambil bentuk seseuai dengan warisan lokal antara lain dalam bentuk kerajaan dan negara-bangsa. Dalam bentuk kerajaan polarisasi peran antara ulama dan umara semakin jelas dapat dibedakan Perkembangan masyarakat bisa menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena harapan untuk memperoleh pimpinan  politik  yang  saleh dan religius serta memperoleh dukungan yang luas dari umat tidak berhasil. Yang  kedua,  mungkin juga karena makin majemuknya masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara.

Peran dan posisi
Perubahan bentuk pemerintahan dari ummah menjadi negara-bangsa di kalangan kaum muslim dengan sendirinya berimplikasi pada dikotomi peran-peran yang dimainkan kedua pemilik otoritas tersebut. Ulama dan umara menjadi dua jenis kekuasaan yang sulit disatukan dalam satu tangan. Kata “ulama” bentuk jamak (plural) dari “’alim” yang artinya orang mengetahui. Jadi, ulama—mengikuti kaidah linguistik (bahasa)—adalah orang-orang yang mengetahui. Kata ”ulama” mengalami penciutan makna dan tidak bermakna jamak lagi, tapi tunggal. Yaitu orang yang hanya mengetahui dan memahami ilmu agama secara mendalam.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, ulama disandang oleh siapa saja yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pengetahuan, dan dengan keahliannya itu memiliki otoritas untuk memimpin dan mengarahkan gerak masyarakat (umat). Termasuk dalam kelompok ini adalah para intelektual atau cendekiawan yang berbeda dengan para pemimpin negara. Namun Ibnu Khaldun yang hidup pada akad ke-14 yang mana kekuasan Islam mulai runtuh tetap membedakan ulama dan umara (penguasa).
Dalam sejarah peran dan posisi ulama seringkali tersubordinasi oleh peran umara. Fatwa para ulama lantas menjadi semacam sumber legitimasi. Karena itulah terdengar kisah tentang usaha umara untuk ”marangkul” ulama yang berpengaruh, dengan memberinya jabatan sebagai qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang ulama besar  yang  menolak  tawaran  raja dan  kemudian mengalami siksaan. Dalam bahasa sekarang  seakan-akan  ulama  besar  ini menjadi semacam  ”tokoh oposisi” yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan. Kritisisme ulama terhadap pemerintahan telah menjadi bagian menyatu dalam setiap zaman.
Lebih-lebih pada saat ini, ketika sistem demokrasi merambah di kawasan negara-negara muslim, jarak antara umara dan ulama diperbesar oleh banyak faktor yang semakin kompleks. Masyarakat telah jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga fatwa mereka sedikit  banyak masih mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Bagaimanapun ulama masih punya peranan politik. Dalam bahasa yang lebih pragmatis, senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para ulama; baik itu dilakukan oleh kekuatan politik penguasa, atau golongan-golongan lain yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Diantara ulama ada yang ingin tetap merdeka dari kekuasaan sambil memerankan fungsi sebagai pengawal moralitas masyarakat. Meski begitu ulama tetap kokoh dalam bingkai normatif yang ketat ketika berhadapan dengan umara sebagai ulil amri yang wajib ditaati sepanjang tidak mengajak maksiat. Ulil amri menurut Ibnu Taimiyah, adalah semua orang yang memberi bimbingan dan mengatur kehidupan baik itu raja, ulama, ilmuwan, dan para birokrat. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang berani bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: ”Apa yang menjamin kita dalam urusan taat kepada negara?” Abu Bakar menjawab: ”Selama pemimpin kalian berlaku lurus”. Artinya, kritisisme peran ulama sesungguhnya akan berhenti sepanjang umara memenuhi amanah yang diemban. Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta: Sumber: Suara Muhammadiyah 04/2011



Pemikiran Politik Imam Al-Ghazali

Oleh: Kholili Hasib
Pendahuluan
Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan latar belakang keilmuannya yang mendunia. Hal yang menonjol dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam tasawwuf dan peningkatan spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’ pada waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi duniawi. Ulama yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak menjalankan misinya dengan baik.[1] Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah.
Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Dalam hal ini pandangannya tidak banyak berbeda dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. ”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang ditaati”, kata al-Ghazali[2].  Oleh karena itu, seorang sultan beserta perangkat-perangkat politiknya harus menjalankan tugas sesuai dengan adab berpolitik. Jika seorang sultan yang menjaga adab berpolitik, menurut al-Ghazali, maka sebenenarnya politik, dalam hal ini adalah tugas mulia. Jika penguasa dan pejabat negara berbuat dzalim, hendaknya dijauhi[3].
Kegelisahan Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu, menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ulama. Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan:
Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal[4].
Di samping krisis ulama’ dan penguasa, pada masa al-Ghazali sempat berkuasa pemimpin yang beraliran menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Pada masa kekuasaan Buwaihiyah, tidak saja mereka beraliran Syi’ah, akan tetapi mereka juga bersikap oposan terhadap kekhalifahan Abbasiyah dan melakukan tindakan korupsi dan politik kotor. Mereka jelas tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni. Ironisnya, beberapa khalifah Abbasiyah seperti al-Mustakfi (333-334), al-Muti’ (334-363), al-Ta’i (363-381) menggantungkan pada hegemoni Buwaihiyah[5].
Kondisi ini mendorong al-Ghazali menulis kitab Fadaih Batiniyyah yang sarat kritik terhadap doktrin Syi’ah batiniah dan konsep Imamah Syiah. Pada bab tujuh kitabFadaih Batiniyyah Imam al-Ghazali menuangkan kritik-kritiknya tentan kebatalan konsep Imamah dan membongkar kelemahan argumen mereka yang mendasarkan konsepnya dengan nas-nash al-Qur’an[6].
Dari karya-karya beliau dalam Ihya UlumuddinAl-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddi, dan Fadaih Batiniyyah kita bisa menangkap bahwa sosok al-Ghazali adalah ilmuan yang menerapkan integralitas ilmu, sehingga sebagai seorang yang pernah masuk ranah politik juga menerapkan integralitas antara ulama-umara, dan agama-politik. Corak pemikirannya yang anti-dikotomis ini menarik untuk direlevankan pada dunia politik saat ini yang pada satu sisi menghadapi krisis moral.
Latar Belakang Sosio-Historis Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Nama aslinya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali)[7].
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”[8] Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Al-Ghazali muda hidup dan berkembang di lingkungan yang sangat kondusif bagi peningkatan keintelektualnya. Ayahnya, meskipun bukan orang ‘alim akan tetapi Muhammad Ath Thusi, ayah beliau, adalah orang yang sangat mencintai ilmu dan ulama’, ayahnya sering mengunjungi majelis-majelis ilmu di negerinya. Ayahnya adalah seorang penenun wol yang meski dengan penghasilan yang biasa ia suka  mendermakan sebagaian hartanya untuk kegiatan-kegiatan keilmuan[9]. Tradisi ayahnya inilah yang membentuk karakter Imam al-Ghazali dalam kelananya mencari ilmu.
Pergulatan al-Ghazali dalam dunia keilmuan dimulai pada saat usianya masih 15 tahun. Di usianya yang masih remaja ia menunjukkan tekadnya untuk memburu ilmu kepada Syekh Abu Nasr al-Ismaili – yang berada di negeri Jurjan. Usai berguru kepada Abu Nasr al-Ismaili selanjutnya ia meneruskan pengembaraan ilmunya kepada al-Juwaini di Madrasah Nisabur.
Di Madrasah inilah, bakat keilmuan yang luar biasa dimulai. Ia belajar dan berdialektika dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu. Bahkan dengan bekal ilmu fikih, teologi, tafsir, hadis, ushul fikih, logika dan perangkat ilmu yang lain ia sudah berijtihad – dan sesekali melakukan perdebatan. Diusia yang baru menginjak tiga puluhan, al-Ghazali mampu menjawab dan mengkritik tantangan-tangan pemikiran logika dan filsafat Yunani dan mematahkan pendapat-pendapat lawan-lawannya.[10]
Sepeninggal gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi bergelut dengan dunia keilmuan. Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu dengan Nizam al-Mulk. Nizam yang menjadi wazir di Daulah Abbasiyah menyamput baik dan menempatkan al-Ghazali sebagai guru besari di Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah berdiri sejak 1065. [11] Jabatan sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi al-Ghazali untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak. Bahkan ia disini ia mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi ulama. Bahkan, kemasyhurannya hampir mengalahkan popularitas penguasa Abbasiyah[12]. Di madrasah ini al-Ghazali banyak bergelut dengan dunia pemikiran,  ia mempelajari filsafat baik filsafat Yunani maupun dari filsafat Islam. Ia menulis buku Maqashid al-Falasifah dan Tahafut Falasifah.[13]
Salah satu yang menarik pada masa ini adalah, hubungan pemerintah yang mendukung dalam jalan dakwah al-Ghazali. Pada masa Khalifah al-Mustazhir billah, pihak pemerintah sangat peduli dengan perkembangan pemikiran Islam saat itu. Pemikiran yang keluar dari garis Sunni, berusaha ditolak. Pada saat itu berkembang madzhab Syi’ah Batiniyah. Melihat pergerakan yang mereka yang tidak baik akhirnya, Imam Ghazali didukung penuh untuk mengkounter pemikiran – pemikiran Batiniyah. Buku Fadaih al-Batiniyah wa  Fada’il Mustazhiriyyah yang ditulis oleh Ghazali khusus untuk mengkounter madzhab Syi’ah didukung, bahkan diberi biaya untuk menuntaskan penulisan buku tersebut.[14]
Latar Belakang Perpolitikan Semasa al-Ghazali
Sebelum al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) lahir peta perpolitikan terpecah dalam beberapa faksi yang berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam wilayah Daulah Abbasiyah (132-656 H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah dan Ahlussunnah. Kelompok besar yang berkonflik adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di samping itu kekuasaan Daulah Umaiyah di Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa Daulah yang dipimpin kelompok Syiah Isma’iliyah.[15]
Ketika kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di bawah Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah. Dinasti Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka mendirikan institusi Sultan, yang sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah. Institusi Sultan berhasil memperdayai Khalifah di tubuh Daulah Abbasiyah. Peran Khalifah seakan tidak berdaya, yang berkuasa penuh adalah Sultan – dari orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan Khalifah Al-Fadal tidak memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung oleh orang-orang Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi boneka orang-orang Buwaihi.[16]
Akhirnya, kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwaihi selama 110 tahun. Di samping melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, yang juga memprihatinkan adalah kalangan pejabat pemerintah banyak melakukan korupsi[17]. Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai kemerosotan. Di antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit hati.
Bahkan Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah menjadi kerajaan Syi’ah Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu Kalijar mengungumkan bahwa Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir yang berpaham Syi’ah Ismailiyah[18]. Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil menguasai Baghdad. Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik Daulah Saljuk dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan Khalifah, namun yang menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian sulatan dalam peningkatan keilmuan warganegara dan memperbaiki pemikiran umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan mendirikan madrasah Nizamiyah yang salah satunya menyebarkan paham Sunni.[19] Bahkan menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah selain madrasah Nizamiyah.
Dinasti Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski di bebarapa wilayah Buwaihi memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg, kekacauan masyarakat dan pejabat negera diakhiri dan mendirikan perubahan penting terutama dalam peningkatan pengetahuan masyarakat. Yang utama adalah mereka berjasa mendirikan perguruan Nizamiyah.[20] Di perguruan Nizamiyah inilah karir keilmuan al-Ghazali memuncak, setelah dingkat Khalifah sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah.
Kepedulian Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa angin positif bagi masa depan perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa kerajaan bergabung diantaranya, Gaznawi India, kerajaan di Sudan. Dan pada saat yang sama dengan sendirinya pengaruh Syiah merosot hingga ke negeri mesir. Hal inilah yang menyebabkan Dinasti Fatimi Mesir merosot drastis menuju keruntuhan. Fatimiyah diliputi krisis multidimensional, mulai ekonomi, politik, dan sosial. Masa ini merupakan era kejayaan Sunni dan kemerosotan Syiah. Di samping dinasti Fatimi, di selatan kerajaan Ismili Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di bawah Bani Sulaihi pun juga menyusut.[21]
Seluruh komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak kehadiran syiah batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka juga menunjukkan gerakan militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk melarang aliran batiniyah berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam Ghazali memainkan peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis buku Fadaih al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah.
Gerakan politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai menyusut, militan syiah bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah. Bahkan secara mengjutkan, syiah batiniyah membantai Nizam Muluk.
Pasca wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah mulai turun pada tahun 485 H. Hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan perpolitikan dan keilmuan di negeri Irak. Kejatuhan khalifah berdampak pada kembalinya budaya korupsi di kalangan pejabat, munculnya ulama’ suu’ (jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.[22] Situasi seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali. Ia mempunyai dua tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki pemahaman ilmu masyarakat dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk mengingatkan pejabat, sebagaimana yang sudah ia lakukan pada pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman dalam situasi sosial politik seperti tersebut di atas ditambah dengan corak keilmuan Imam al-Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran al-Ghazali tentang politik Islam. Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta para ulama lainnya. Penulis menilai corak pemikiran politiknya sangat benuansa etika dan adab politik. Pemikiran yang cukup menarik adalah dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali idealkan[23]. Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan referensi bagi para pejabat saat ini.
Etika Kuasa Menurut al-Ghazali
a. Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Perpolitikan
Pikiran-pikiran utama al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk. Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kumpulan nasehat ini ditujukan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik Syah dari dinasti Seljuk.
Sebagai ilmuan yang memiliki pemikiran dan jiwa yang tajam, al-Ghazali berusaha menempatkan diri sebagai agen perubahan dalam perbaikan pemerintahan. Yang menarik, beliau tidak terjun langsung di dalam praktisi pemerintahan, namun ia berposisi sebagai ulama yang berkewajiban amar ma’ruf nahi munkar kepada umara, bukan sebagai oposisi akan tetapi sebagai mitra menyebarkan ma’ruf dan menjegah yang munkar. Karena al-Ghazali melihat, dinasti saljuk – di luar sisi-sisi negatifnya seperti penyalahgunaan wewenang dan ketidaksiplinan moral – sultan masih sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan keilmuan warga negara dan pada taraf perbenturan teologis, sultan bertempat pada posisi yang tepat.[24] Oleh karena itu, al-Ghazali melihat pemerintahan masih dapat dipertahankan dan diperbaiki. Itulah sebabnya ia menulis surat-surat yang berisi nasihat.
Dengan mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk al-Ghazali hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan.  Reformasi moral ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan cendekiawan ahli syari’ah. Ia mengatakan:
Seorang faqih adalah orang yang menguasai aturan-aturan politik Islam dan mengetahui cara sebagai mediator diantara manusia (pejabat negara) jika berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka seorang fakih hendaknya menjadi guru dan membimbing sultan.[25]
Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar. Pembahasan pertama, al-Ghazali memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid, yang kedua berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama. Dua pembahasan utama tersebut lahir dari pemikiran al-Ghazali kemungkinan karena desakan situasi sosial, keagamaan dan politis saat itu. Atas dasar itu, al-Ghazali merasa memiliki kewajiban untuk memperbaiki ilmu masyarakat dan pejabat negara.
Kegelisahan yang membuat al-Ghazali memeras pikiran adalah fenomena Syiah Batiniyah[26] yang pelan-pelan merebak. Meskipun Sultan dan Khalifah tidak terpengaruh oleh ideologi Batiniyah – akan tetapi al-Ghazali merasa nasihat-nasihat tentang tauhid sangat perlu bagi pejabat negara dalam situasi seperti itu.
Dalam awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan kaidah-kadiah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali ingin mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah SWT). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah SWT. Allah memberi amanah kepada sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang Keesan-Nya, tiada satu pun yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah, mengingatkan tentang akhirat, dan tugas Nabi Muhammad.[27]
Pembahasan tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaithpara pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping itu, untuk  mempertahankan basicfaith warga negara saat itu al-Ghazali melakukannya dengan mengkritik dan menjawab syubhat-syubhat Syi’ah. Hal itu diwujudkan dengan menulis kitab al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali merupakan pemikir aktif. Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada pejabat negara maupun kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah Nizamiyah juga melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan dan kritik (istbat wa nafyu) ini merupakan dua kewajiban yang memang mestinya berjalan sinergis.
Nasihat tauhid ini penting karena, demi melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh denga pemikiran Syi’ah Batiniyah sekaligus juga membentengi rakyat dari pemikiran menyimpang tersebut. Sebab, Batiniyah terkenal sebagai kelompok sempalan yang radikal. Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah.[28]
Oleh karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim golongan Batiniyah baik klaim teologis maupun politis. Klaim teologis Batiniyah sangat jelas bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin.[29]Batiniyah sebenarnya adalah kelompok yang bertopengkan Islam. berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin.[30] Klaim politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang mengatakan bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para Imam keturuunan Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang menggantikan adalah wakil imam.
Selain itu, pemikiran Batiniyah lain yang ditentang mayoritas ulama adalah bahwa mereka percaya al-Qur’an memiliki arti tersembunyi yang berbeda dari arti zahirnya. Menurut mereka, yang mengetahui kebenaran dan mengkoreksi pemahaman al-Qur’an baik yang eksplisit maupun implisit. Memahami al-Qur’an seperti itu diperoleh melalui ta’lim (pengajaran oleh yang memiliki otoritas yaitu Imam, wakil imam atau orang yang diberikan oleh Imam).[31]
b. Politik Beradab dan Kewajiban Khalifah
Nasihat-nasihat al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan Seljuk. Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Nizam al-Muluk menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut sultan tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirna Islam Sunni.[32]
Selanjutnya di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai dengan adab dan etika seorang pemimpin.  Yang pertama-tama harus dipahami, menurut al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.
Al-Wilayah adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya, maka pemimpin yang demikian, menurut al-Ghazali telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah.[33]
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah SWT sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahayanya seorang pemimpin. Sebagaimana peringatan Rasulullah SAW bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil, ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji)[34]. Imam al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa jika tiga perkara tersebut ditinggalkan maka bahaya negara akan mengancam.
Untuk menghindari hal tersbut, al-Ghazali mengingatkan seorang sultan atau khalifah tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun, seorang sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.[35]
Imam al-Ghazali tampak tidak ingin memisahkan negara dan urusan agama. Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basicfaith Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin itu memiliki basicfaith yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur.  Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah[36].
Untuk itulah, seorang raja harus rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka rakyat kecil adalah lemah, maka harus deperlakukan denga lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat[37].
Ada dua penting yang ditekankan oleh al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya. Yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah SWT sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah al-tasawwur al-Islamiy(pandangan hidup Islam). Karena al-tasawwur al-Islamiy adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup.[38] Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.[39] Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, al-Ghazali dalam teori kenegaraannya mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan, agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali berpendapat bahwa wujud sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak ada pemerintahan yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya ekonomi masyarakat[40]. Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan masyarakat dan perdamaian.
Ketertiban merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan kehidupan beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat. Negara adalah suatu prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak dapat diwujudkan dengan baik.
Bagi al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk menghindarkan pergolakan sosial melalui pemberlakukan hukum dan ketertiban dan manajemen publik oleh agen negara, tetapi juga bertujuan untuk menghindarkan pergolakan sosial melalui bimbingan dan kepemimpiann yang diberikan oleh penguasa dengan pelayanan menarik[41].
Oleh karena itu, al-wilayah (kepemimpinan) adalah profesi yang ditipkan oleh Allah SWT yang dibutuhkan oleh warga negara. Karean begitu pentingnya profesi ini, al-Ghazali berpendapat bahwa, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang cakap[42].
Mengenai pemimpin ideal, pendapat al-Ghazali hampir sama dengan al-Mawardi tentang kriteria pemimpin yang ideal. Yakni seorang yang mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.[43] Selain itu, bagi al-Ghazali tujuan pendirian kekhalifahan adalah untuk dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia. Dalam hal ini al-Ghazali cenderung perpadangan jauh ke depan[44]. Namun, jika seorang sultan itu dzalim dan sudah membahayakan agama, maka harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik itu diberhentikan atau harus berhenti sendiri.[45]
Ia menerangkan bahwa, selama sultan itu masih menerpakan hukum Islam, hanya saja etika politiknya kurang baik maka sultan harus diingatkan – dan belum perlu untuk diberhentikan, apalagi jika pemberhentian itu akan melahirkan kekacauan. Sedapat mungkin rakyat memperkecil hubungan dengannya dalam arti memboikot sampai ia kembali baik.
Negara, berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat untuk memasksimalkan kehidupan di bumi dengan penuh tanggung jawab. Kondisi jiwa dan fisik harus dilindungi dengan bijaksana, dengan bantuan ulama menjaga kestabilan sosial spiritual berdasarkan keimanan. Kehidupan dunia adalah sementara, maka manusia perlu dipersiapkan secara matang untuk menuju kehidupan yang hakiki. Karena kebahagiaan sejati itu hanya didapat ketika di akhirat (surga) kelak.[46]
Hal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama dan dunia tidak dapat dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan dengan sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat memanen hasilnya di akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga kestabilan dunia diperlukan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan syari’ah. Negara adala penjaga bagi terlaksananya hukum-hukum agama Islam[47]. Berarti, pemikiran politik yang ditawarkan bukanlah pemikiran pragmatis, karena al-Ghazali konsisten bahwa pendirian negara tidak sekedar demi terlaksananya kepentingan individu atau kelompok, akan tetapi ia menginginkan perbaikan semua umat manusia di dunia. Ia tidak hanya mengarahkan pendidikan fisik dan moralitas akan tetapi lebih jauh al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah dianggap sangat penting agar dapat selamat dan bahagia di akhirat.
Maka, mengangkat pemimpin (imamah) adalah wajib. Beliau memberi argumentasi:
لايحصل نظام الدين إلا بإمام مطاع، صاحب الشرع هو الإمام المطاع، ونظام الدين لا يحصل إلابنظام الدنيا ونظام الدنيا لايحصل إلا بإمام مطاع، نظام الدين لايحصل إلا بإمام مطاع[48]
Oleh karena itu al-Ghazali berpendapat, peraturan syara’ tidak berjalan sempurna dan efektif kecuali didukung oleh adanya pemerintahan yang Islami, menurut beliau nidzamu al-dunya syartun li nidzami al-diin[49].  Argument-argumen al-Ghazali tentang pentingnya imamah dan Negara sekaligus menjawab terhadap ide-ide sekularisme dan konsep imamah Syi’ah[50].
Pemisahan iman dan dunia – yang berarti sekularisme – menurut al-Ghazali adalah dikarenakan oleh kesalahan memahami konsep iman dan konsep imamah.  Sesuai dengan ciri khas pemikiriannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kehidupan dunia dengan segala kesenangannya adalah sementara dan berlebihan hidup mewah dapat merusak jiwa dan moral. Hidup adalah cukup untuk memenuhi kebutahan dasar manusia. Orang yang memahami hal tersebut disebut orang beradab, dan orang beradab adalah orang yang sebenar-benarny mu’min. Pendirian negara, bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan manusia di duni saja tapi juga untuk kepentingan di akhirat. [51]
Untuk itulah, imam al-Ghazali menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu yang benar. Hal itu tidak bisa dicapai dengan efektif kecuali manusia dalam kondisi yang memadai terpenuhi kebutuhan dasarnya, dapat perlindungan dan kondisi yang damai.
Maka pendirian sisitem dunia yang terorganisir akan lebih jelas jika dilengkapi dengan sistem hukum dan aturan yang benar sehingga bisa memberi bimbingan tepat bagai warga negara, yang berarti ikut menstabilkan spiritual rakyat. Menurut al-Ghazali menjadi muslim yang baik bukanlah orang yang tidak menyisakan sama sekali harta duniawi. Baginya, seorang zahid bukanlah orang yang tidak mengharapkan kekayaan sama sekali, akan tetapi zahid adalah orang yang tidak terobsesi dan hatinya tidak terlalu dikuasai oleh kekayaan, meskipun ia ditakdirkan menjadi orang terkaya di dunia.
Semuanya harus terlaksana dengan mengamalkan syari’ah. Pelaksanaa syariat sangat membutuhkan penopang yaitu legitimasi negara. Dan agama meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya termasuk aspek moral dan spiritual kehidupan. Sehingga dengan demikian agama dipandan sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan kekal di akhirat.[52]
Dengan demikian emikian, pendirian negara dan mengangkat imam menurut al-Ghazali tujuan utamanya adalah menghasilkan kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan misi kenabian. Negara dan politik merupakan bagian penting terutama dalam tema sentralnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Merupakan sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hancur[53]. Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan, maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan.  Pernyataan al-Ghazali tersebut jelas menunjukkan bahwa sekularisme tidak mendapat tempat di dalam Islam. Karena sekulerisme menceraikan antara agama dan politik. Yang berarti mereduksi syariah untuk diterapkan dalam masyarakat Islam.
Penutup
Pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politisi muslim adalah, al-Ghazali mementingka ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang sangat penting seperti keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat. Al-Ghazali sangat  komitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuan tidak semestinya melakukan reformasi konstruktif di dalam arena politik. Karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama memperbaiki basicfaith – karena hal itu mempengaruhi model perilaku manusia. Politik, moral, pemikiran dan tindakan harus benar-benar memiliki keterkaitan antara satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah model perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak saja menguasai teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih. Yang ditekankan adalah tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu kifayah akan tetapi ia juga harus menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.[54]
Poin penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-Ghazali adalah seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina hubungan baik dengan ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-kebaikan. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan moral.

Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad,(Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003)
_______Ihya’ Ulumuddin,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah)
_______ _Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
_______ Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk
_______ Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul (Intisyarat Dar al-Dzakhoir, 1368H)
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997)
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997)
Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal)
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964)
Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, 2003)
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996,VOL.1 No 1&2)
Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992)
Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam,Terjemahan al-Nadzariat al-Siyasah al-Islamiyah(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992)
Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009)
Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985)
Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2008)
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,2007)
Seyyed Hossein Nasr dan Iliver Leaman(ed),Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam(Bandung: Mizan, 2003)
Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004)
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971)
Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968)

[1] Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992), p.55
[2] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003, cet. 1  ) p. 69
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah   ) p.151
[4]Ibid, p.381
[5]Lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), p. 123 dan Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2008 cet ke-3), p.76
[6]Lebih lengkap tentang kritikannya baca Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
[7] Abdul Wahab bin Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah) jilid 6, p.191 lihat juga Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992), juz VII, p. 247-248
[8]Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001) p. 7
[9] Lihat Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968), p. 194
[10]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997), 148
[11]Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971),
[12]Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004), p.37
[13]Sulaiman Dunya, Maqasid al-Falasifah, p. 24
[14]Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal), p. 33
[15]Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah), jilid I, p. 23-33
[16] Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964), jilid I, p. 217
[17]Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009
[18] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi(Bandung: Pustaka Setia,2007), p.37
[19] Ibid
[20] Ibid.
[21] Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), jld III, p.482-571
[22] Saeful Anwar,Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi(Bandung: Pustaka Setia, 2007), p.39
[23] Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009, p. 56-57
[24] Sultan Saljuk menolak kelompok-kelompok sempalan radikal Batiniyah yang kadang kerap melakukan tidakan pembunuhan kepada musuh-musuhnya. Kebijakan Sultan yang menolak kelompok Batiniyah bukan semata-mata murni karena perbedaan pandangan politik akan tetapi lebih banyak dikarenakan kelompok Batiniyah melakukan banyak penyimpangan ideologi, melakukan tindak kekerasan dan berusahan menggulingkan Sultan dengan cara-cara politik adu domba.
[25] Ihya Ulumu al-Din, jilid. I, p.30
[26] Syi’ah Batiniyah adalah aliran dari Syi’ah Ismailiyah – yaitu sekte Syiah yang meyakini keimamahan hanya sampai Ismail bin Ja’far al-Shadiq sebagai imam ke-7. Perbedaan dengan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah bahwa, Syiah Itsna Asyariyah tidak mengakui Ismail bin Ja’fa al-Shadiq sebagai imam. Manurut Istna Asyariyah iman yang ke-7 adalah Musa bin Ja’far al-Kadzim. Ismailiyah hanya meyakini tuhuh iman –bukan dua belas imam sebagaimana diyakini Syiah Itsna Asyariyah – dan imam yang ke-7 atau terakhir adalah Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Mereka dinamakan Batiniyah karena mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, p. 265 dan Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi), p. 500
[27]Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p.1-4
[28] Lihat Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009).
[29] Ibid
[30] Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985), p. 124
[31] Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, p.11.
[32] Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Vol. V no. 2 th 2009, p.57
[33] Ibid, p. 4
[34] Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p. 4
[35] Ibid, p. 6
[36] Ibid, p.8
[37] Ibid, p.9
[38] Lihat Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996,VOL.1 No 1&2), p.6
[39] Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib al-Attas (Bandung: Mizan,2003), p.174
[40] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), p.148
[41] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid I, p. 22
[42] Ibid.
[43] Ibid
[44] Ibid, p. 21
[45] Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p. 279
[46] Fadaih al-Batiniyah, p. 205 dan lihat juga Abu Hamid al-Ghazali, Kimiyat al-Sa’adah, p.52
[47] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, p. 149 lihat juga Fadaih al-Batiniyah, p. 155
[48] Ibid, p. 169
[49] Ibid, p. 170
[50] Uraian lebih lengkap dapat dibaca di Al-Iqtishad fi al-I’tiqad bab fi al-Imamah
[51] Ibid.
[52] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, p. 149
[53] Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p.102
[54] Dalam Ihya Ulumuddin al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu fardlu ain yaitu ilmu-ilmu syariat dan ilmu fardlu kifayah seperti ilmu matematika, kedokteran, biologi, sosiologi dalan lain sebagainya. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz I p. 16

Imam al-Ghazali tentang Kekuasaan dan Memilih Pemimpin

Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat
Oleh: Kholili Hasib
HUJJATUL  Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.
Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.
Usaha-usaha perbaikan politik yang di lakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.
Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Imam al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya.
Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslaha- tan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.
Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Pertama, Imam al-Ghazali memprioritas kan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.
Dalam awal naskah nasihatnya, Imam al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Subhanahu Wata’ala). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya;tiada satu pun yang menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada masalah tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).
Selanjutnya di pembahasan berikutnya dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab dan etika seorang pemimpin.Yang per tama-tama harus dipahami, menurut Imam al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya ? Jika tidak amanah.
Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui ha kikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala.
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memper hatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).
Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah“), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin memiliki worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling ber- musuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al- Ghazali bahkan berfatwa bahwa men- datangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari- pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentu kan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan intelektual untuk meng atur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak- nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.
Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting ka rena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus ber upaya meningkatkan setiap aspek da lam dirinya menuju kesempurnaan manusia.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan degradasi moral.
Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.*
Penulis penelitis Inpas dan INSISTS. Tulisan sebelumnya sudah dimuat di Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014