Perjalanan ke Kampung Halaman Butuh 23 Tips
1. Sholat Istikharah Sebelum Mudik
Apabila ahlussunnah bertekad untuk melakukan safar (mudik), disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut, (artinya),
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi,
"Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.”
(Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Mudik
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan.
Allah azza wa jalla berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.”
(Ali ‘Imran: 159)
3. Menyiapkan Bekal Mudik
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
“Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.”
(Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Bawalah makanan, minuman, pakaian atau yang lain, karena yang demikian sudah dimaklumi bersama.
4. Tidak Sendirian Saat Mudik
Sangat ditekankan untuk melakukan safar berjamaah minimal 3 orang. Melakukan safar sendirian adalah hal yang dimakruhkan berdasarkan hadits Abdullah bin Umar, Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Seandainya manusia mengetahui jeleknya bersendirian seperti apa yang aku ketahui, niscaya dia tidak akan mengadakan perjalanan di malam hari sendirian.”
(HR.Al-Bukhari no. 2998)
Maka saat mudik, ajaklah keluarga, teman, atau yang lainnya. Usahakan tidak bersendirian.
Hanya saja jika dalam keadaan terpaksa atau memang tidak ada orang yang bisa menemaninya sementara dia harus safar segera, maka insya Allah ada uzur baginya.
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).”
(HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah)
6. Mudik di Hari Kamis
Disunnahkan untuk keluar pada hari kamis, dan lebih disunnahkan lagi pada malam kamis atau kamis pagi.
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar ke perang Tabuk pada hari kamis, dan jika beliau ingin safar, maka beliau memang senang perginya hari kamis.”
(HR. Al-Bukhari no. 2950 dan Muslim no. 2769)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Hendaknya kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena bumi digulung pada malam hari.”
(HR. Abu Daud no. 2571 dan hadits ini hasan lighairih)
7. Berpamitan dan Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar, dari Nabi , beliau bersabda,
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata, ‘Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah dengan membaca doa, (artinya),
“Aku titipkan kepada Allah agama, amanah dan penutup-penutup amalmu “.
[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (no. 2600), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (2/97/no. 2476), Ahmad dalam Al-Musnad (2/25/no. 4781) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (49/314-316)]
8. Dilarang Membawa Anjing dan Lonceng, Alat Musik Dalam Safar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.
(HR. Muslim)
9. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini, (artinya),
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.”
(HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar)
10. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir, dia berkata:
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.”
(HR. Al-Bukhari no. 2993)
11. Memperbanyak Doa Ketika Mudik
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas berkata: Rasulullah bersabda,
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.”
(HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan,
'Audzubikalimaatillahit tammah min syarrimaa kholaq'
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.”
(HR. Muslim no. 2708)
13. Ketika Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak Jangan Mengeluh
Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun, ucapkanlah basmalah (bacaan “ bismillah”).
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan,
“Celakalah syaithan”.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,
“Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.”
(HR. Abu Daud no. 4982 dan Ahmad 5/95. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
14. Apakah Boleh Shalat di Atas Mobil, Pesawat, dll?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya,
"Bagaimana seorang muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu ? Atau menunggu sampai tiba di airport, jika akan tiba pada akhir waktu shalat ?"
Jawaban:
Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannhya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisayaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."
[At-Taghabun : 16]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Imran bin Al-Hushain Radhiyallahu 'anhu di kala ia sedang sakit.
"Artinya : Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring."
[HR Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab Taqshirus Sahalah 1117]
Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dengan tambahan.
"Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang."
Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing, maka itupun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.
Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut.
Wallahu Waliyut Taufiq
[Fatawa MuhimahTata'allaqu Bish Shalah, hal 40-41, Syaikh Ibnu Baz]
Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhohulloh menambahkan,
"Kalau seorang yang berada dalam bus/mobil ia mau melaksanakan sholat lail di atas mobil, itu tidak mengapa."
15. Membaca Quran dan Dzikir di Atas Kendaraan
Orang yang safar di atas mobil banyak kebaikan yang ia bisa lakukan. Apabila seseorang ingin membaca al-Quran, maka itu baik. Kalau pada malam hari tidak ada lampu, ia bisa berdzikir kepada Alloh azza wa jalla.
16. Disunnahkan Untuk Tinggal Sementara dan Makan Secara Bersama di Satu Tempat
Allah subhanahu wa ta`ala menjadikan kekuatan, kemuliaan, kekokohan dan barakah didalam persatuan. Dan Allah ta`ala menjadikan di dalam perpecahan ketakutan, kelemahan, dikuasai oleh musuh dan tercabutnya barakah Allah. Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba dan bermalam.
Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah. Adapun berkumpul ditempat mereka singgah, hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata,
“Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan.'
Setelah itu apabila mereka turun dan singgah di suatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnya hingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua.”
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka.
Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah?”
Para sahabat menjawab, “Benar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambesabda, “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.”
17. Menundukkan Pandangan kepada Lawan Jenis
Kadang ketika seorang muslim berada dalam bus, mobil, pesawat, dll, ia akan ikhtilat bersama lawan jenisnya. Maka ia diperintah untuk menundukkan pandangan.
Alloh azza wa jalla berfirman,
"Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat', dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang orang yang beriman semoga kalian beruntung."
(An-Nuur 30-31)
18. Hati-Hati Tidur Saat Mudik
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggu dengan hewan-hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila kalian berjalan di siang hari menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-hewan berbisa”.
Maka carilah tempat tidur, atau posisi tidur yang aman. Tidurlah sesuai sunnah Rosululloh shollallohu alayhi wasallam.
19. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusan
Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah)
20. Mendatangi Keluarga pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas berkata,
“Rasulullah tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.”
(HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
21. Membaca Doa Ketika Melihat Kampung
Anas berkata,
“Kami datang bersama Nabi, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau mengucapkan (doa, artinya),
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
22. Melakukan Shalat 2 Rakaat di Masjid Terdekat Ketika Telah Tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik,
“Adalah Rasulullah n apabila kembali dari suatu safar, beliau memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
23. Dilarang Bagi Wanita Safar tanpa Ada Mahram
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)
Hukum asal bagi seorang wanita adalah tidak boleh bersafar atau tinggal di suatu tempat yang jaraknya jarak safar, kecuali harus bersama mahramnya. Dan mahram yang dimaksud di sini adalah lelaki dewasa yang tidak boleh dinikahi selama lamanya. Hanya saja, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, bahwa tidak ada satu hukum atau kaidahpun kecuali pasti ada pengecualian padanya. Dan masalah ini di antaranya.
Nah, kapan saja seorang wanita boleh melakukan safar tanpa mahram?
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata,
“Semua safar walaupun jaraknya dekat, maka seorang wanita wajib ditemani oleh mahramnya. Kecuali pada empat keadaan:
Pertama: Jika mahramnya meninggal di tengah perjalanan, sementara dia telah jauh meninggalkan tempat asalnya.
Kedua: Jika wanita itu wajib berhijrah.
Ketiga: Jika dia berzina sehingga dia dihukum dengan pengasingan (pengusiran), sementara dia tidak mempunyai mahram.
Keempat: Jika hakim mengharuskan untuk mendatangkan dia setelah tuduhan dijatuhkan kepadanya, sementara dia tidak berada di situ ketika itu.”
[Al-Muntaqa Min Fara`id Al- Fawa`id hal. 44-45]
Keadaan kedua dimana ketika dia wajib berhijrah adalah semisal ada wanita yang masuk Islam di negeri kafir, dan terpenuhi padanya kemampuan untuk berhijrah sehingga dia wajib berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Hanya saja ketika itu dia tidak mempunyai mahram. Maka dia tetap diwajibkan berhijrah walaupun tanpa disertai mahram.
Keadaan ketiga maksudnya jika wanita itu belum menikah. Karena jika dia telah menikah maka hukum had baginya adalah rajam dan bukan pengasingan.
Jika ada yang bertanya, "Bagaimana jika ditemani anak laki-lakinya yang belum balig atau wanita dewasa yang lainnya (semisal ibu atau saudarinya)?
Dijawab oleh Ust. Hammad,
"Tidak boleh, karena hikmah diharuskannya ada mahram dalam safar adalah agar mahramnya tersebut bisa menjaganya dari berbagai mudharat yang mungkin terjadi pada wanita tersebut. Adapun anak kecil maka jelas dia tidak bisa melakukan hal itu. Adapun sekelompok wanita maka keadaannya sama, karena memungkinkan ada sekelompok lelaki yang bisa memudharatkan mereka. Karenanya para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud mahram di sini adalah lelaki dewasa yang bisa menjaga dirinya dari fitnah.
Wallahu a’lam."
Rujukan:
*Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
*Al-Ustadz Abu Muawiyah Hammad
*Al-Ustadz Dzulqarnain
Semoga Alloh azza wa jalla memberi taufik kepada kita semua....[]
status sdr. Kusnandar Putra
--Bontote'ne, 24 Romadhon 1435 H
1. Sholat Istikharah Sebelum Mudik
Apabila ahlussunnah bertekad untuk melakukan safar (mudik), disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut, (artinya),
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi,
"Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.”
(Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Mudik
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan.
Allah azza wa jalla berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.”
(Ali ‘Imran: 159)
3. Menyiapkan Bekal Mudik
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
“Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.”
(Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Bawalah makanan, minuman, pakaian atau yang lain, karena yang demikian sudah dimaklumi bersama.
4. Tidak Sendirian Saat Mudik
Sangat ditekankan untuk melakukan safar berjamaah minimal 3 orang. Melakukan safar sendirian adalah hal yang dimakruhkan berdasarkan hadits Abdullah bin Umar, Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Seandainya manusia mengetahui jeleknya bersendirian seperti apa yang aku ketahui, niscaya dia tidak akan mengadakan perjalanan di malam hari sendirian.”
(HR.Al-Bukhari no. 2998)
Maka saat mudik, ajaklah keluarga, teman, atau yang lainnya. Usahakan tidak bersendirian.
Hanya saja jika dalam keadaan terpaksa atau memang tidak ada orang yang bisa menemaninya sementara dia harus safar segera, maka insya Allah ada uzur baginya.
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).”
(HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah)
6. Mudik di Hari Kamis
Disunnahkan untuk keluar pada hari kamis, dan lebih disunnahkan lagi pada malam kamis atau kamis pagi.
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar ke perang Tabuk pada hari kamis, dan jika beliau ingin safar, maka beliau memang senang perginya hari kamis.”
(HR. Al-Bukhari no. 2950 dan Muslim no. 2769)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Hendaknya kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena bumi digulung pada malam hari.”
(HR. Abu Daud no. 2571 dan hadits ini hasan lighairih)
7. Berpamitan dan Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar, dari Nabi , beliau bersabda,
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata, ‘Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah dengan membaca doa, (artinya),
“Aku titipkan kepada Allah agama, amanah dan penutup-penutup amalmu “.
[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (no. 2600), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (2/97/no. 2476), Ahmad dalam Al-Musnad (2/25/no. 4781) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (49/314-316)]
8. Dilarang Membawa Anjing dan Lonceng, Alat Musik Dalam Safar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.
(HR. Muslim)
9. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini, (artinya),
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.”
(HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar)
10. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir, dia berkata:
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.”
(HR. Al-Bukhari no. 2993)
11. Memperbanyak Doa Ketika Mudik
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas berkata: Rasulullah bersabda,
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.”
(HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan,
'Audzubikalimaatillahit tammah min syarrimaa kholaq'
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.”
(HR. Muslim no. 2708)
13. Ketika Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak Jangan Mengeluh
Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun, ucapkanlah basmalah (bacaan “ bismillah”).
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan,
“Celakalah syaithan”.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,
“Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.”
(HR. Abu Daud no. 4982 dan Ahmad 5/95. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
14. Apakah Boleh Shalat di Atas Mobil, Pesawat, dll?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya,
"Bagaimana seorang muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu ? Atau menunggu sampai tiba di airport, jika akan tiba pada akhir waktu shalat ?"
Jawaban:
Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannhya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisayaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."
[At-Taghabun : 16]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Imran bin Al-Hushain Radhiyallahu 'anhu di kala ia sedang sakit.
"Artinya : Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring."
[HR Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab Taqshirus Sahalah 1117]
Dan diriwayatkan pula oleh An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dengan tambahan.
"Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang."
Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing, maka itupun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.
Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut.
Wallahu Waliyut Taufiq
[Fatawa MuhimahTata'allaqu Bish Shalah, hal 40-41, Syaikh Ibnu Baz]
Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhohulloh menambahkan,
"Kalau seorang yang berada dalam bus/mobil ia mau melaksanakan sholat lail di atas mobil, itu tidak mengapa."
15. Membaca Quran dan Dzikir di Atas Kendaraan
Orang yang safar di atas mobil banyak kebaikan yang ia bisa lakukan. Apabila seseorang ingin membaca al-Quran, maka itu baik. Kalau pada malam hari tidak ada lampu, ia bisa berdzikir kepada Alloh azza wa jalla.
16. Disunnahkan Untuk Tinggal Sementara dan Makan Secara Bersama di Satu Tempat
Allah subhanahu wa ta`ala menjadikan kekuatan, kemuliaan, kekokohan dan barakah didalam persatuan. Dan Allah ta`ala menjadikan di dalam perpecahan ketakutan, kelemahan, dikuasai oleh musuh dan tercabutnya barakah Allah. Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba dan bermalam.
Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah. Adapun berkumpul ditempat mereka singgah, hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata,
“Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan.'
Setelah itu apabila mereka turun dan singgah di suatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnya hingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua.”
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka.
Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah?”
Para sahabat menjawab, “Benar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambesabda, “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.”
17. Menundukkan Pandangan kepada Lawan Jenis
Kadang ketika seorang muslim berada dalam bus, mobil, pesawat, dll, ia akan ikhtilat bersama lawan jenisnya. Maka ia diperintah untuk menundukkan pandangan.
Alloh azza wa jalla berfirman,
"Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat', dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, 'Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang orang yang beriman semoga kalian beruntung."
(An-Nuur 30-31)
18. Hati-Hati Tidur Saat Mudik
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggu dengan hewan-hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila kalian berjalan di siang hari menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-hewan berbisa”.
Maka carilah tempat tidur, atau posisi tidur yang aman. Tidurlah sesuai sunnah Rosululloh shollallohu alayhi wasallam.
19. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusan
Rasulullah shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah)
20. Mendatangi Keluarga pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas berkata,
“Rasulullah tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.”
(HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
21. Membaca Doa Ketika Melihat Kampung
Anas berkata,
“Kami datang bersama Nabi, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau mengucapkan (doa, artinya),
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
22. Melakukan Shalat 2 Rakaat di Masjid Terdekat Ketika Telah Tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik,
“Adalah Rasulullah n apabila kembali dari suatu safar, beliau memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
23. Dilarang Bagi Wanita Safar tanpa Ada Mahram
Rosululloh shollallohu alayhi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)
Hukum asal bagi seorang wanita adalah tidak boleh bersafar atau tinggal di suatu tempat yang jaraknya jarak safar, kecuali harus bersama mahramnya. Dan mahram yang dimaksud di sini adalah lelaki dewasa yang tidak boleh dinikahi selama lamanya. Hanya saja, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, bahwa tidak ada satu hukum atau kaidahpun kecuali pasti ada pengecualian padanya. Dan masalah ini di antaranya.
Nah, kapan saja seorang wanita boleh melakukan safar tanpa mahram?
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata,
“Semua safar walaupun jaraknya dekat, maka seorang wanita wajib ditemani oleh mahramnya. Kecuali pada empat keadaan:
Pertama: Jika mahramnya meninggal di tengah perjalanan, sementara dia telah jauh meninggalkan tempat asalnya.
Kedua: Jika wanita itu wajib berhijrah.
Ketiga: Jika dia berzina sehingga dia dihukum dengan pengasingan (pengusiran), sementara dia tidak mempunyai mahram.
Keempat: Jika hakim mengharuskan untuk mendatangkan dia setelah tuduhan dijatuhkan kepadanya, sementara dia tidak berada di situ ketika itu.”
[Al-Muntaqa Min Fara`id Al- Fawa`id hal. 44-45]
Keadaan kedua dimana ketika dia wajib berhijrah adalah semisal ada wanita yang masuk Islam di negeri kafir, dan terpenuhi padanya kemampuan untuk berhijrah sehingga dia wajib berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Hanya saja ketika itu dia tidak mempunyai mahram. Maka dia tetap diwajibkan berhijrah walaupun tanpa disertai mahram.
Keadaan ketiga maksudnya jika wanita itu belum menikah. Karena jika dia telah menikah maka hukum had baginya adalah rajam dan bukan pengasingan.
Jika ada yang bertanya, "Bagaimana jika ditemani anak laki-lakinya yang belum balig atau wanita dewasa yang lainnya (semisal ibu atau saudarinya)?
Dijawab oleh Ust. Hammad,
"Tidak boleh, karena hikmah diharuskannya ada mahram dalam safar adalah agar mahramnya tersebut bisa menjaganya dari berbagai mudharat yang mungkin terjadi pada wanita tersebut. Adapun anak kecil maka jelas dia tidak bisa melakukan hal itu. Adapun sekelompok wanita maka keadaannya sama, karena memungkinkan ada sekelompok lelaki yang bisa memudharatkan mereka. Karenanya para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud mahram di sini adalah lelaki dewasa yang bisa menjaga dirinya dari fitnah.
Wallahu a’lam."
Rujukan:
*Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
*Al-Ustadz Abu Muawiyah Hammad
*Al-Ustadz Dzulqarnain
Semoga Alloh azza wa jalla memberi taufik kepada kita semua....[]
status sdr. Kusnandar Putra
--Bontote'ne, 24 Romadhon 1435 H
No comments:
Post a Comment