"Tokoh
Gerakan Sederhana"
Sumber
: http://gupoong.blogspot.co.id/2011/11/abu-dzar-al-ghifari-sosok-pejuang.html
Bani Ghifar
adalah qabilah Arab suku Badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari
peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai
gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta
pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi
penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan,
apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada
diri Abu Dzar.
Nama lengkapnya
yang masyhur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya
Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita dikampung Bani Ghifar, bahwa telah
muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat
berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu
Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk
mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat
piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari
tau apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan
utusan Allah itu.
Dan setelah
beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut.
Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu lakukan ?”,
tanyanya. Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang
menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.
Abu
Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.
Unais menjawab :
“Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir, tukang tenung, dan
tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang
tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku
telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata
amat berbeda omongannya dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia
adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.
Mendengar
laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri
dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari
langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan
suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka’bah
dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya
kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah
meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera menunjukkan kepada
Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak
bulan purnama.
Abu Dzar memang
amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan
menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di
Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia
adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya.
Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah
pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak
gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan
apa yang diinginkannya.
Dia hanya
menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya telah habis.
Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan minum air
zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus suasana penantian
itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak
kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air
zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama tiga puluh
hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ? yang dinantinya hanyalah
kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan pria ganteng berwajah bulan
purnama itu, untuk mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang
dibawanya. Dia setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng
ersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.
Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumahpun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah.
Dan setelah
dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan
rumah.Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu
keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali
berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : Apakah hari ini
anda akan kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum !”.
Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa
sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”.
Dan Abu Dzarpun
terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang
telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu
Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini, sehingga
mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada
antangan : “Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab
pertanyaanmu”. Langsung saja Ali menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk
menjaga rahasiamu”.
Dan Abu Dzar
tidak ragu lagi dengan janji pemuda uraisy yang terhormat ini, sehingga dengan
setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah sampai kepada kami
berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali
menyambutnya dengan gembira dan enyatakan kepadanya : “Engkau sungguh benar
dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang
aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi
isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang
memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau
pergi menjauh”.
Maka Abu Dzar
pun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan
apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam dan langsung enanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling
dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera
Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam engan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar,
sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau
mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk
bergabung dengan kami”.
Mendengar wasiat
tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu laihi wa aalihi wa
sallam: “Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan
meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah
mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.
Segera saja Abu
dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak berkumpul para
tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul padanya, Abu
Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan menyatakan : “Wahai
orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan
utusan Allah”.
Mendengar
omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka berteriak
memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar orang murtad
itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari memukulinya dengan
nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul
Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy.
Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu
Dzar : “Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan
Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian”.
Demi masyarakat
mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak
belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok
pria pemberani yang bila meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan
peduli menyatakan keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi
resiko seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ni, tidak menciutkan
nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para
dedengkot kafir Quraisy.
Keesokan harinya
dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan
syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga
mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan
untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu
Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur
bersimbah darah seperti kemaren.
Setelah dia puas
membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya,
meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat
melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk
pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan
di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya,
telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al
Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk
Islam.
Adapun separoh
yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka
segera saja mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di
kampung mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah
hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.
Hijrah Ke Al Madinah :
Dengan telah
masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Bader dan
Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al
Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di
masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan
pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia
tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak
menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu
mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu
majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia
tidak hadir dan ada halangan apa.
Begitu dekatnya
Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu
sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta
jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau
langsung menasehatinya :
(Hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)
“Sesungguhnya
engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan
sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang
menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang
benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad
dalam Thabaqatnya.
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(Haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)
“Wahai Abu Dzar,
engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai mala
petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai
ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan
penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang
Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal.
162.
Asma’ bintu
Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah
menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid.
Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati
Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya.
Maka Rasulullah
meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu
Dzar pun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat
engkau tidur ?. Maka dia menjawab: Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah
bagiku selain masjid ? Maka Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau
bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari
masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena
Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang
mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu.
Kemudian Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana pula
bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali
ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat
tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi
dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan
aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan
beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik
darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan : Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai
Rasulullah.
Maka beliaupun
menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan
kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau
menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu
itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.
Disamping
berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersebut,
dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada
Abu Dzar sebagai berikut ini :
(Haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).
“Tidak ada
makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi,
yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya
jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke
3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.
Abu Dzar Berjuang Sendirian :
Setelah wafatnya
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri.
Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas,
pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala
bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam).
Dia adalah orang
yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin.
Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau
ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai
(Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk
mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku
untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau
memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk
mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap
menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku.
Demikian pula
aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk
diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan
kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata
illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang
diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159.
Abu Dzar
mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya,
tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al Ahnaf bin Qais
sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya,
kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku
sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya
melingkar) dengan orang-orang Quraisy.
Tiba-tiba
datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya
kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup,dan orang inipun
berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang
yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit
batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu itupun
diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga batu panas itu
keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu di tulang pundaknya
sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga batu panas itu naik turun
antara dada dan tulang pundaknya.
Mendengar
omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan kepalanya. Maka
aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari hadirin yang duduk di
halaqah itu. Sehingga orang itupun segera meninggalkan halaqah tersebut dan
duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah
itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar. Demi aku
melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri dan
akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat, mereka yang
duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau ucapkan. Abu Dzarpun
menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama sekali.
Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad) sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera memenuhi panggilan
beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.
Aku melihat
gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya, dan aku
menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan padanya. Maka aku
menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.
Kemudian
beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku punya
emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga tidak tersisa
daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku). Selanjutnya Abu Dzar
menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu mengumpulkan dunia,
mereka tidak mengerti sama sekali.
Aku katakan
kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan
orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka sehingga
engkau mendapatkan sebagian harta mereka. Abu Dzar menjawab dengan tegas dan
lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada
mereka dan aku tidak akan minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku
mati bergabung dengan Allah dan RasulNya”. Demikian diriwayatkan oleh Al
Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits
ke 992 / 34 – 35.
Abu Dzar sangat
keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih
dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi
berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah
dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para
Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya
karena menjabat jabatan di pemerintahan.
Hal ini
diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut : “Ketika Abu Musa Al Asy’ari
datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusa
merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek.
Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya.
Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau
dariku !!
Abu Musa
mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzarpun
menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : “Aku bukan
saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di
pemerintahan”. Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu
datanglah Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan
menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzar
menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu
jabatan dalam pemerintahan ?
Abu Hurairah
menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.
Abu Dzar
selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun bangunan yang
tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?
Abu
Hurairah menjawab : Tidak.
Maka Abu Dzarpun
menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku”.
Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dala Thabaqatnya jilid 3
halaman 163.
Sikap Abu Dzar
yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :
( Haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)
“Orang yang
paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan
hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya
untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.
Abu Dzar
keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam meninggal
dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi melarat itu
ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan posisi yang paling
dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat
kelak.
Meninggal dunia di tempat pengasingan :
Dengan sikap
hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para
Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di
negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu
gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka
Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada
Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali.
Abu Dzar
akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera
menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap
Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin
bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul
Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau :
“Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku
untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.
Maka Amirul Mu’minin pun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.
Abu Dzar segera
berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang
tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan
orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal
di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya
yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya
sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan
membaca Al Qur’an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang
yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.
Di suatu hari
ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke Amirul Mu’minin
dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang membicarakan tentang
dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka Amirul Mu’minin bertanya
kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta
seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka
bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab : Bila harta itu adalah
kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat),
maka yang demikian itu tidak mengapa.
Mendengar jawaban
itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul Ka’ab dengan
tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar
menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak
ada kewajiban atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat
atas hartanya.
Allah telah
berfirman : (artinya) ”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari pada
dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. QS. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman :
(artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang miskin, anak
yatim dan orang yang ditawan”. QS. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat
ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat
tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa
seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia
belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan
mendesak bagi keluarganya.
Melihat kejadian
itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah engkau kepada Allah
wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk
mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”. Juga Amirul Mu’minin meminta
kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni
hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan
Ka’abpun akhirnya memaafkannya. Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di
Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan kemarahan.
Dia semakin
senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya.
Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya
ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang
tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari
tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian,
istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis
?”.
Istrinya
menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam keadaan aku
tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.
Maka Abu Dzar
menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku telah pernah
mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda di suatu
hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok orang yang lainnya.
Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian akan meninggal dunia di
padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok kaum Mu’minin”.
Kemudian Abu
Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah olehmu, semua orang
yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah, telah mati semua di
kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu
kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang
dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah
ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah
berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan
mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti
yang diberitakan oleh Rasulullah)”.
Istrinya
menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan,
sedang musim haji telah lewat ?!”.
Abu Dzar tetap
meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah jalan !”. Maka
istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan Rabadzah. Dan
ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada
rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan
serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa
mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu
Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya.
Orang-orang di
rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan
itupun menyatakan kepada mereka : “Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak
mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan
pahalaNya”. Maka merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu
menjawab : “Dia adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun
dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar.
Dan ketika
mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di
atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka :
“Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai
sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian Abu
Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini.
Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani
kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah
janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang
yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau
utusan pemerintah untuk satu urusan”.
Semua anggauta
rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu,
kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : “Aku adalah orang
yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil
pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang
lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini”. Mendengar omongan pemuda Anshar
itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya :
“Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu
itu”.
Dengan penuh
kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat tinggal
dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu Dzar untuk
menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan. Beristirahatlah engkau di
sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda
Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan
kafilah tersebut di Rabadzah itu.
Anak istri Abu
Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul
Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar.
Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : “Semoga
Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan
dalam keluarganya.
Demikianlah
perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di
akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat konsisten dengan
pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak mesti orang yang
sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan
bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu
pemahaman Salafus Shaleh.
Duhai, betapa
berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin
Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah serta
masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang
kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput
mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu
Al Qur’an dan Al Hadits.
Masyarakat yang
jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti,
sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah
tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di
zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta
fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang
kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridho’anNya.
Daftar Pustaka :
1. Al Qur’an Al Karim.
2.
Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria AnNawawi.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria AnNawawi.
4. At Thabaqatul
Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5.
Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
Sebelum kepergiannya, beliau telah meninggalkan begitu
banyak suri tauladan yang baik yang dapat kita jadikan pedoman hidup agar dapat
menjadi seorang muslim yang kaffah dan seutuhnya. Salah satunya adalah ketujuh
pesan beliau kepada salah seorang sahabat, Abu Dzar Al-Ghifari. Ketujuh wasiat
tersebut adalah:
1. Mencintai orang miskin
Beliau memerintahkan kita seluruh umat Islam agar senantiasa
untuk mencintai orang miskin. Orang-orang miskin yang beliau maksudkan adalah
orang-orang yang hidupnya tidak berkecukupan dan tidak mempunyai harta untuk
mencukupi kehidupannya, dan mereka tidak mau meminta-minta untuk mencukupi
kebutuhan mereka. Wasiat ini berlaku umum untuk seluruh umat Islam. Yang
dimaksud dengan mencintai adalah lebih kepada sikap dan perlakuan kita terhadap
orang-orang miskin. Kita dituntut untuk berlaku tawadhu, duduk bersama mereka,
menolong mereka, serta turut bersabar bersama mereka. Menolong dan berbagi
dengan mereka, adalah salah satu bukti paling nyata dan kongkret dari rasa
cinta kita terhadap orang miskin. Berbagi dan menolong terhadap sesama tentu
saja akan mendatangkan Ridha-Nya dan kasih sayang-Nya, seperti apa yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW “Barangsiapa menghilangkan kesusahan dunia dari
seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.
Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang-orang yang dililit utang, Allah
akan memudahkan atasnya di dunia dan di akhirat.” Ingin ditolong Allah pada
hari akhir nanti? Maka bergiatlah untuk menolong sesama, terutama menolong
orang-orang miskin, agar senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih
sayang-Nya. Sesama hidupnya, Rasulullah SAW pun selalu mencintai orang-orang
miskin dan dekat dengan mereka. Rasulullah pun selalu menghimbau dan mengajak
para sahabatnya agar selalu mencintai mereka yang mengalami kekurangan dari
segi ekonomi. Dalam suatu riwayat Ibnu ‘Umar disebutkan pada satu hari bahwa
salah seorang dari kaum Muhajirin yang miskin menceritakan kepada Rasulullah,
betapa beruntungnya mereka yang memiliki kekayaan harta, karena dapat beribadah
dan beramal lebih banyak melalui harta mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah
pun bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira
kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan lebih dahulu masuk surga
daripada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama
dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi
Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu”. Lalu, bagaimana
bisa seorang yang miskin akan lebih dahulu masuk surga? Padahal bisa dibilang
orang yang memiliki hartalah yang lebih banyak beramal dan bersedekah.
Rasulullah pun menjawab, orang-orang yang memiliki harta akan menyusul
orang-orang miskin untuk memasuki surga, karena mereka harus melalui proses
pertanggungjawaban dan perhitungan dari harta-harta yang mereka miliki dan
mereka pakai selama mereka hidup di dunia ini. Maka, sungguh begitu banyak
ladang amal yang telah Allah sediakan di muka bumi ini, salah satunya yaitu
mengasihi dan menyayangi orang-orang miskin.
2. Melihat pada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan
penghidupan
Jauh dari syukur, itulah sifat dasar dari manusia, oleh
karena itu Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk melihat kepada orang yang
lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan, agar kita senantiasa
berterimakasih dan bersyukur atas segala sesuatu yang telah Allah berikan
kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Lihatlah kepada orang yang berada
di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian
lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan
kepadamu”(HR. Bukhari) Melalui hadits ini Rasulullah mengingatkan kita agar
tidak melihat kepada orang-orang yang hidupnya berada di atas kita, orang-orang
yang hidupnya bergelimang harta dan memiliki kekayaan yang melimpah, karena
demi Allah, keindahan dan kenikmatan benar-benar menyilaukan dan memukau bagi
siapa saja yang lupa untuk berterima kasih dan beriman kepada Allah SWT. Dengan
melihat kepada orang yang berada di bawah kita, kita akan merasa berterima
kasih dan menyadari begitu banyak nikmat yang telah diberikan-Nya sampai saat ini.
Nikmat dan karunia sekecil apapun, jika disyukuri maka akan terasa begitu
indah. Namun, dalam hal beribadah justru sebaliknya, kita dianjurkan untuk
melihat kepada mereka yang berada di atas kita, mereka yang ibadah dan
akhlaknya lebih baik dari kita. Mengapa demikian? Hal ini akan memotivasi kita
dan membuat kita senantiasa untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan meraih
Ridha-Nya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Dan untuk yang
demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 26)
3. Menyambung silaturahim
Silaturahim adalah ibadah yang mulia dan memberikan banyak
berkah bagi siapa pun yang melakukannya. Silaturahim merupakan fitrah dan
kebutuhan manusia, karena seperti apa yang telah kita dapat dari pelajaran IPS
semasa di sekolah, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri,
dan senantiasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama manusia. Maka,
silaturahim merupakan salah satu ibadah yang paling dianjurkan dan diwajibkan
dalam Islam. Seperti peringatan dan ancaman-Nya dalam firman “Maka, apakah
kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati
Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
(QS. Muhammad [47]: 22-23) Maka, di zaman modern yang semakin memudahkan kita
untuk berkomunikasi, rasanya tidak ada lagi alasan untuk tidak menyambung
silaturahim kepada sesama saudara. Karena, menyambung tali silaturahim memiliki
banyak manfaat, rahmat dan kebaikan dari Allah senantiasa tercurah kepada
mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahim, silaturahim juga merupakan
sebab pentingnya seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka. Selain
itu, silaturahim juga merupakan tanda ketaatan dan amalan yang mendekatkan
seorang hamba kepada Tuhannya, Allah SWT.
4. Memperbanyak ucapan “La Haula Walaa Quwwata Illa Billah”
La haula walaa quwwata illa billah(tidak ada daya dan upaya
kecuali dari pertolongan Allah), sebuah kalimat yang mengingatkan kita bahwa
sudah semestinya sebagai hamba yang lemah kita senantiasa dan meyakini bahwa
segala sesuatu yang kita lakukan terjadi karena kehendak dan kuasa-Nya. Segala
sesuatu yang terjadi di muka bumi ini, baik yang besar maupun kecil, semuanya
terjadi karena kehendak-Nya, maka tidaklah pantas kita sebagai manusia merasa
sombong dan takabur. Kalimat ini juga mengingatkan kita bahwa hanya Allah lah
satu-satunya tempat kembali dan meminta, tiada daya dan kekuatan yang dapat
menandingi atau menyamai kekuatan serta kehendak-Nya. Ketika seorang hamba
mengucapkan kalimatLa haula walaa quwwata illa billahdengan sepenuh hati,
berarti bahwa hamba tersebut telah mengakui ketidakberdayaan dan kelemahannya
di hadapan Allah SWT, tiada kesombongan sedikit pun terbesit bagi mereka yang
telah mengucapkan kalimat ini dengan sepenuh hati dan jiwa. 5. Berani berkata
benar meskipun pahit Berkata benar, terkadang memang terasa sulit, terlebih
jika kebenaran tersebut adalah kebenaran yang terasa pahit untuk diucapkan dan
disampaikan. Berbagai alasan pun melatarbelakangi hal ini, mulai dari rasa
sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang
memiliki derajat atau kedudukan lebih tinggi. Hal ini, tentu saja bertentangan
dengan apa yang Rasulullah sabdakan: “ Jihadyang paling utama ialah mengatakan
kalimat yang haq (benar) kepada penguasa yang zhalim”. Berbagai cara dapat
dilakukan untuk menyampaikan kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa
yang bathil. Cara yang dilakukan secara perlahan dan baik-baik tentu akan lebih
“ampuh” dibandingkan dengan cara kekerasan dan “kengototan” kita dalam
menyampaikan kebenaran. Penyampaian secara persuasif akan jauh lebih efektif,
karena Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasihat.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang
tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat
itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau
menerima), maka sungguh ia telah menjalankan kewajiban amanah yang dibebankan
kepadanya”.
6. Tidak takut celaan ketika berdakwah di jalan Allah
Berbagai cobaan dan siksaan yang menimpa Rasulullah ketika
berdakwah tentu tidak diragukan lagi kebenarannya. Cobaan dan siksaan yang
begitu perih dan pedih dialami oleh Rasulullah dan para sahabat-Nya dalam
menyampaikan ajaran-ajaran Islam, namun hal itu tidak sedikit pun membuat
mereka gentar dan takut, karena mereka percaya dengan janji Allah yang begitu
manis dan indah. Dakwah, sedari dulu, memang bukan hal yang mudah dan pasti
akan mengalami banyak hambatan dan cobaan. Hambatan, rintangan, dan perlawanan
tentu akan datang dari mereka yang tidak menyukai melihat Islam berjaya.
Hambatan dan rintangan yang berat ini bukan tidak mungkin akan menyurutkan
langkah kita dalam berdakwah, namun Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk
tetap bersikap berani dan pantang menyerah dalam menyampaikan kebaikan (QS.
Al-Ahzaab [33]: 39). Allah begitu mencintai siapa pun yang mengutarakan
kebenaran dari ajaran-Nya, seperti yang Allah sampaikan dalam surat Al-Maidah
[5]: 54. Jaminan mendapatkan surga pun telah dijanjikan-Nya bagi siapa pun yang
berdakwah di jalan-Nya. Dakwah memanglah tidak mudah, maka dakwah harus
dilakukan semata untuk mendapatkan Ridha-Nya agar kita tidak dengan mudah
berhenti dan keluar dari barisan dakwah yang begitu mulia ini.
7. Tidak meminta-minta
Meminta-minta adalah perbuatan yang sama sekali tidak
mencerminkan sikap dan jiwa dari seorang muslim yang baik. Meminta-minta adalah
haram hukumnya dalam Islam, karena Islam mengajarkan setiap umatnya untuk
senantiasa berusaha dan berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Hidup
memanglah tidak mudah dan membutuhkan perjuangan yang besar untuk dapat tetap
bertahan, oleh karena itu Islam mengharamkan hal ini dan mendidik setiap
umatnya agar dapat menjadi manusia yang tangguh dan tidak bermental “peminta-minta”.
Meminta-minta diperbolehkan jika untuk keperluan yang berkenaan dengan
keperluan dan kepentingan umum umat Islam, seperti untuk pembangunan sarana
peribadatan, pendidikan bantuan untuk fakir-miskin dan anak-anak yatim. Namun,
semua hal tersebut pun harus dilakukan sesuai dengan prosedural yang berlaku,
tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tanpa aturan. Mental seorang
muslim adalah mental seorang muslim yang tangguh dan tidak mudah menyerah serta
rela berjuang keras untuk mendapatkan dan mencapai impiannya, bukan dari
meminta-minta dan sekedar berpangku tangan. Demikian lah ke tujuh wasiat
Rasulullah yang disampaikan kepada Abu Dzar Al-Ghifari, semoga apa yang
disampaikan dapat bermanfaat. Semoga apa yang kita lakukan di dunia ini
semuanya berdasar pada akhlak-akhlak Rasulullah SAW, agar di hari akhir dan di
akhirat kelak, kita termasuk hamba-Nya yang mendapatkan syafaat dari Rasulullah
SAW. Amin ya Rabbal Alamin.
Sumber
: http://sinatriasunda.heck.in/7-wasiat-rasulullah-kepada-abu-dzar-al-g.xhtml
No comments:
Post a Comment