CLOCK


Mutiara Harian

Friday, July 01, 2016

Abi Dzar Al-Ghifary

"Tokoh Gerakan Sederhana

Sumber : http://gupoong.blogspot.co.id/2011/11/abu-dzar-al-ghifari-sosok-pejuang.html

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku Badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.

Nama lengkapnya yang masyhur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita dikampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tau apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu.

Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu lakukan ?”, tanyanya. Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.
Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.

Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama.

Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan apa yang diinginkannya.

Dia hanya menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng ersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.

Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumahpun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah.
Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah.Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : Apakah hari ini anda akan kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum !”. Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”.

Dan Abu Dzarpun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada antangan : “Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Langsung saja Ali menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”.
Dan Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda uraisy yang terhormat ini, sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan enyatakan kepadanya : “Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh”.

Maka Abu Dzar pun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung enanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam engan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu laihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.

Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan menyatakan : “Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.

Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka berteriak memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar orang murtad itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar : “Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian”.

Demi masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ni, tidak menciutkan nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot kafir Quraisy.

Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah seperti kemaren.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk Islam.
Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.

Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :

(Hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :

(Haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya.

Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzar pun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab: Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu.

Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan : Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah.

Maka beliaupun menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.

Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :

(Haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).
“Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.

Abu Dzar Berjuang Sendirian :

Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam).

Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku.

Demikian pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159.

Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-orang Quraisy.

Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup,dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya.

Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itupun segera meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar. Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau ucapkan. Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad) sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.

Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.

Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku). Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.

Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka. Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan RasulNya”. Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan.

Hal ini diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut : “Ketika Abu Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku !!

Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : “Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di pemerintahan”. Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?
Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.
Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?
Abu Hurairah menjawab : Tidak.
Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dala Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.

Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :

Haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)
“Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.

Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :

Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali.

Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.

Maka Amirul Mu’minin pun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.

Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab : Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.

Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya.

Allah telah berfirman : (artinya) ”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. QS. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman : (artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. QS. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.

Melihat kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”. Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya. Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan kemarahan.

Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis ?”.

Istrinya menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.

Maka Abu Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok orang yang lainnya. Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok kaum Mu’minin”.

Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah, telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)”.

Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.

Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah jalan !”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya.

Orang-orang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : “Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya”. Maka merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu menjawab : “Dia adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar.

Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka : “Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.

Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : “Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini”. Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.

Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan. Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.

Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.

Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh.

Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur’an dan Al Hadits.

Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridho’anNya.

Daftar Pustaka :
1. Al Qur’an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria AnNawawi.

4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.


Sebelum kepergiannya, beliau telah meninggalkan begitu banyak suri tauladan yang baik yang dapat kita jadikan pedoman hidup agar dapat menjadi seorang muslim yang kaffah dan seutuhnya. Salah satunya adalah ketujuh pesan beliau kepada salah seorang sahabat, Abu Dzar Al-Ghifari. Ketujuh wasiat tersebut adalah:
1. Mencintai orang miskin
Beliau memerintahkan kita seluruh umat Islam agar senantiasa untuk mencintai orang miskin. Orang-orang miskin yang beliau maksudkan adalah orang-orang yang hidupnya tidak berkecukupan dan tidak mempunyai harta untuk mencukupi kehidupannya, dan mereka tidak mau meminta-minta untuk mencukupi kebutuhan mereka. Wasiat ini berlaku umum untuk seluruh umat Islam. Yang dimaksud dengan mencintai adalah lebih kepada sikap dan perlakuan kita terhadap orang-orang miskin. Kita dituntut untuk berlaku tawadhu, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta turut bersabar bersama mereka. Menolong dan berbagi dengan mereka, adalah salah satu bukti paling nyata dan kongkret dari rasa cinta kita terhadap orang miskin. Berbagi dan menolong terhadap sesama tentu saja akan mendatangkan Ridha-Nya dan kasih sayang-Nya, seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW “Barangsiapa menghilangkan kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang-orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan di akhirat.” Ingin ditolong Allah pada hari akhir nanti? Maka bergiatlah untuk menolong sesama, terutama menolong orang-orang miskin, agar senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih sayang-Nya. Sesama hidupnya, Rasulullah SAW pun selalu mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Rasulullah pun selalu menghimbau dan mengajak para sahabatnya agar selalu mencintai mereka yang mengalami kekurangan dari segi ekonomi. Dalam suatu riwayat Ibnu ‘Umar disebutkan pada satu hari bahwa salah seorang dari kaum Muhajirin yang miskin menceritakan kepada Rasulullah, betapa beruntungnya mereka yang memiliki kekayaan harta, karena dapat beribadah dan beramal lebih banyak melalui harta mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah pun bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan lebih dahulu masuk surga daripada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu”. Lalu, bagaimana bisa seorang yang miskin akan lebih dahulu masuk surga? Padahal bisa dibilang orang yang memiliki hartalah yang lebih banyak beramal dan bersedekah. Rasulullah pun menjawab, orang-orang yang memiliki harta akan menyusul orang-orang miskin untuk memasuki surga, karena mereka harus melalui proses pertanggungjawaban dan perhitungan dari harta-harta yang mereka miliki dan mereka pakai selama mereka hidup di dunia ini. Maka, sungguh begitu banyak ladang amal yang telah Allah sediakan di muka bumi ini, salah satunya yaitu mengasihi dan menyayangi orang-orang miskin.
2. Melihat pada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan
Jauh dari syukur, itulah sifat dasar dari manusia, oleh karena itu Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan, agar kita senantiasa berterimakasih dan bersyukur atas segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu”(HR. Bukhari) Melalui hadits ini Rasulullah mengingatkan kita agar tidak melihat kepada orang-orang yang hidupnya berada di atas kita, orang-orang yang hidupnya bergelimang harta dan memiliki kekayaan yang melimpah, karena demi Allah, keindahan dan kenikmatan benar-benar menyilaukan dan memukau bagi siapa saja yang lupa untuk berterima kasih dan beriman kepada Allah SWT. Dengan melihat kepada orang yang berada di bawah kita, kita akan merasa berterima kasih dan menyadari begitu banyak nikmat yang telah diberikan-Nya sampai saat ini. Nikmat dan karunia sekecil apapun, jika disyukuri maka akan terasa begitu indah. Namun, dalam hal beribadah justru sebaliknya, kita dianjurkan untuk melihat kepada mereka yang berada di atas kita, mereka yang ibadah dan akhlaknya lebih baik dari kita. Mengapa demikian? Hal ini akan memotivasi kita dan membuat kita senantiasa untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan meraih Ridha-Nya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 26)
3. Menyambung silaturahim
Silaturahim adalah ibadah yang mulia dan memberikan banyak berkah bagi siapa pun yang melakukannya. Silaturahim merupakan fitrah dan kebutuhan manusia, karena seperti apa yang telah kita dapat dari pelajaran IPS semasa di sekolah, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dan senantiasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama manusia. Maka, silaturahim merupakan salah satu ibadah yang paling dianjurkan dan diwajibkan dalam Islam. Seperti peringatan dan ancaman-Nya dalam firman “Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 22-23) Maka, di zaman modern yang semakin memudahkan kita untuk berkomunikasi, rasanya tidak ada lagi alasan untuk tidak menyambung silaturahim kepada sesama saudara. Karena, menyambung tali silaturahim memiliki banyak manfaat, rahmat dan kebaikan dari Allah senantiasa tercurah kepada mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahim, silaturahim juga merupakan sebab pentingnya seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka. Selain itu, silaturahim juga merupakan tanda ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya, Allah SWT.
4. Memperbanyak ucapan “La Haula Walaa Quwwata Illa Billah”
La haula walaa quwwata illa billah(tidak ada daya dan upaya kecuali dari pertolongan Allah), sebuah kalimat yang mengingatkan kita bahwa sudah semestinya sebagai hamba yang lemah kita senantiasa dan meyakini bahwa segala sesuatu yang kita lakukan terjadi karena kehendak dan kuasa-Nya. Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini, baik yang besar maupun kecil, semuanya terjadi karena kehendak-Nya, maka tidaklah pantas kita sebagai manusia merasa sombong dan takabur. Kalimat ini juga mengingatkan kita bahwa hanya Allah lah satu-satunya tempat kembali dan meminta, tiada daya dan kekuatan yang dapat menandingi atau menyamai kekuatan serta kehendak-Nya. Ketika seorang hamba mengucapkan kalimatLa haula walaa quwwata illa billahdengan sepenuh hati, berarti bahwa hamba tersebut telah mengakui ketidakberdayaan dan kelemahannya di hadapan Allah SWT, tiada kesombongan sedikit pun terbesit bagi mereka yang telah mengucapkan kalimat ini dengan sepenuh hati dan jiwa. 5. Berani berkata benar meskipun pahit Berkata benar, terkadang memang terasa sulit, terlebih jika kebenaran tersebut adalah kebenaran yang terasa pahit untuk diucapkan dan disampaikan. Berbagai alasan pun melatarbelakangi hal ini, mulai dari rasa sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang memiliki derajat atau kedudukan lebih tinggi. Hal ini, tentu saja bertentangan dengan apa yang Rasulullah sabdakan: “ Jihadyang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (benar) kepada penguasa yang zhalim”. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyampaikan kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa yang bathil. Cara yang dilakukan secara perlahan dan baik-baik tentu akan lebih “ampuh” dibandingkan dengan cara kekerasan dan “kengototan” kita dalam menyampaikan kebenaran. Penyampaian secara persuasif akan jauh lebih efektif, karena Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasihat. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah menjalankan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya”.
6. Tidak takut celaan ketika berdakwah di jalan Allah
Berbagai cobaan dan siksaan yang menimpa Rasulullah ketika berdakwah tentu tidak diragukan lagi kebenarannya. Cobaan dan siksaan yang begitu perih dan pedih dialami oleh Rasulullah dan para sahabat-Nya dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, namun hal itu tidak sedikit pun membuat mereka gentar dan takut, karena mereka percaya dengan janji Allah yang begitu manis dan indah. Dakwah, sedari dulu, memang bukan hal yang mudah dan pasti akan mengalami banyak hambatan dan cobaan. Hambatan, rintangan, dan perlawanan tentu akan datang dari mereka yang tidak menyukai melihat Islam berjaya. Hambatan dan rintangan yang berat ini bukan tidak mungkin akan menyurutkan langkah kita dalam berdakwah, namun Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tetap bersikap berani dan pantang menyerah dalam menyampaikan kebaikan (QS. Al-Ahzaab [33]: 39). Allah begitu mencintai siapa pun yang mengutarakan kebenaran dari ajaran-Nya, seperti yang Allah sampaikan dalam surat Al-Maidah [5]: 54. Jaminan mendapatkan surga pun telah dijanjikan-Nya bagi siapa pun yang berdakwah di jalan-Nya. Dakwah memanglah tidak mudah, maka dakwah harus dilakukan semata untuk mendapatkan Ridha-Nya agar kita tidak dengan mudah berhenti dan keluar dari barisan dakwah yang begitu mulia ini.
7. Tidak meminta-minta
Meminta-minta adalah perbuatan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap dan jiwa dari seorang muslim yang baik. Meminta-minta adalah haram hukumnya dalam Islam, karena Islam mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa berusaha dan berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Hidup memanglah tidak mudah dan membutuhkan perjuangan yang besar untuk dapat tetap bertahan, oleh karena itu Islam mengharamkan hal ini dan mendidik setiap umatnya agar dapat menjadi manusia yang tangguh dan tidak bermental “peminta-minta”. Meminta-minta diperbolehkan jika untuk keperluan yang berkenaan dengan keperluan dan kepentingan umum umat Islam, seperti untuk pembangunan sarana peribadatan, pendidikan bantuan untuk fakir-miskin dan anak-anak yatim. Namun, semua hal tersebut pun harus dilakukan sesuai dengan prosedural yang berlaku, tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tanpa aturan. Mental seorang muslim adalah mental seorang muslim yang tangguh dan tidak mudah menyerah serta rela berjuang keras untuk mendapatkan dan mencapai impiannya, bukan dari meminta-minta dan sekedar berpangku tangan. Demikian lah ke tujuh wasiat Rasulullah yang disampaikan kepada Abu Dzar Al-Ghifari, semoga apa yang disampaikan dapat bermanfaat. Semoga apa yang kita lakukan di dunia ini semuanya berdasar pada akhlak-akhlak Rasulullah SAW, agar di hari akhir dan di akhirat kelak, kita termasuk hamba-Nya yang mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW. Amin ya Rabbal Alamin. 
Sumber : http://sinatriasunda.heck.in/7-wasiat-rasulullah-kepada-abu-dzar-al-g.xhtml


No comments:

Post a Comment